All Chapters of Harga Diri Seorang Suami: Chapter 31 - Chapter 36
36 Chapters
31. Memulai Semuanya Dari Awal
Gunawan menjalani hari-harinya sebagai pengangguran lagi. Lelaki jangkung itu kini mencoba mencari pekerjaan di tempat lain. “Mas Gun!” Handi memanggil kakak sepupunya itu seraya berjalan mendekat ke arahnya. “Mas Gunawan ngerti soal listrik kan?” tanya Handi. “Ngerti dikit-dikit. Kenapa, Han?” ujar Gunawan. “Nah pas banget dah. Itu pengeras suara di masjid rusak. Mas Sucip yang biasanya benerin, lagi sakit. Jadi nggak ada yang bisa benerin pengeras suaranya,” jelas Handi. “Terus hubungannya sama aku apa, Han?” tanya Gunawan tak mengerti. “Pak Holil nyuruh aku buat nyari orang yang bisa benerin pengeras suara. Nah aku langsung keinget Mas Gunawan.” Handi menjelaskan lagi maksud dan tujuannya. “Mas Gunawan bisa kan benerin pengeras suaranya?” tanya Handi. Gunawan menghela napas panjang. “Ya udah. Nanti Mas ke sana. Sekarang Mas mau nyari kerja dulu.” Handi mengangguk paham. Dia lantas berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Sepen
Read more
32. Kesedihan dan Kekecewaan
Anisa semakin dirundung kegelisahan tak bertepi setelah berkunjung ke tempat kerja sang suami. Dia semakin bertanya-tanya ke mana sebenarnya Irfan pergi? Apa yang sedang ia lakukan dan ia rasakan sekarang? “Aku harus mencari ke mana lagi sekarang?” tanyanya putus asa. Anisa mengembuskan napas panjang. Begitu berat dan menyesakkan dada. Sebuah tepukan di pundaknya membuat Anisa terlonjak kaget. Dia lantas menoleh dan mendapati sang ayah berdiri di belakangnya. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Pak Dullah. Anisa menggelengkan kepalanya. Dia masih belum mau berterus terang kepada ayahnya perihal sikap sang suami. “Nisa mau ke belakang dulu ya, Pak. Mau angkatin jemuran,” ucap Anisa. Pak Dullah mengangguk. Walaupun dalam hatinya ada rasa yang mengganjal dan tak tenang, tetapi dia tak bisa memaksa Anisa untuk berkata jujur. Tak hanya Anisa yang dilanda kegelisahan. Ambar juga dilanda perasaan yang sama. Dia sampai harus memejamkan matanya sejenak ke
Read more
33. Dibalik Rasa Kecewa
Gunawan tiba di rumahnya tepat saat azan ashar. Lelaki itu bergegas menuju sumur untuk membersihkan diri. Rasa lelahnya hilang seketika saat air di kamar mandi membasahi badannya. “Loh sudah pulang, Gun?” Pak Kosim yang akan menuju kamar mandi terkejut melihat sang keponakan. “Sudah, Paman,” jawab Gunawan pendek. “Gimana tadi tesnya?” tanya Pak Kosim lagi. “Alhamdulillah gampang, Paman. Tapi…” “Enggak apa-apa, Gun. Enggak semua yang kita mau bisa kita dapatkan dengan mudah.” Pak Kosim berkata seolah-olah mengerti apa yang akan Gunawan ucapkan. “Kadang kala kita harus berusaha keras lebih dari yang lain agar apa yang kita mau bisa didapatkan. Tapi, kadang juga kita harus merasakan kecewa walaupun kita sudah bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dimaui,” lanjut Pak Kosim. Gunawan mengangguk paham. Seulas senyum tergambar di wajahnya saat sang paman tak menyudutkan dirinya yang gagal. Tapi lelaki tua itu justru memberikannya dukungan dan bahu u
Read more
34. Kilas Masa Lalu
Ghani mengembuskan napasnya dengan sedikit kasar. Dia tak pernah merasa semarah ini pada sang ibu. Kilasan masa lalu mulai membayang dalam benak lelaki 35 tahun itu. Rasa sakitnya pun masih jelas membekas dalam hatinya.     “Mas.” Ambar menyentuh bahu suaminya dengan lembut. Senyum manis terukir di wajahnya kala menegur sang suami.     Ghani menoleh. Senyuman manis juga terukir di wajah tampannya.     “Kenapa? Kok melamun?” tanya Ambar dengan lembut.     Ghani menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Emosi dan amarah masih tersisa di dalam hatinya.     “Aku nggak apa-apa.” Hanya itu yang keluar dari mulut lelaki itu.     Ambar menghela napas panjang. “Kalau nggak apa-apa, kenapa melamun di sini? Lagi ada yang dipikirkan?”     Ghani lagi-lagi menarik napas dan men
Read more
35. Kejujuran
“Sebaiknya kamu jujur pada ayahmu,” saran Bu Siti.     Saat ini Bu Siti dan Anisa sedang berada di teras rumah Anisa. Mereka berdua memutuskan pulang karena hingga siang masih belum juga berhasil menemukan Irfan.     “Supaya ayahmu juga tahu apa yang sedang kamu alami sekarang. Ibu tidak akan pernah membela Irfan jika dia bersalah.”     “Ibu akan tetap membela kamu, Nisa,” pungkasnya.     Anisa hanya bisa diam mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Memang benar, sebaiknya dia berkata jujur pada Pak Dullah. Tapi… apa itu tidak akan mengganggu kesehatan pria itu? Anisa hanya takut jika dia berkata jujur, kesehatan sang ayah akan terganggu. Dia belum siap kehilangam cinta pertamanya itu untuk selamanya.     “Anisa nggak tahu, Bu. Anisa takut kalau… kalau… Anisa jujur nanti akan…”&
Read more
36. Pengakuan
Mata Pak Abdul merah. Keduanya tangannya terkepal kuat hingga urat-urat di tangannya bersembulan. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang memburu. Darahnya mendidih dan gigi-giginya bergemelutuk.     “Kamu nggak tahu apa-apa tentang perasaan ku, Pak. Kamu nggak bakalan mengerti apa yang aku rasakan!” teriak Bu Hamidah.     “Sejak pertama kali aku mengenalnya, aku sudah menaruh hati padanya. Aku mencintai dia melebihi rasa sayangku pada diri sendiri,” lanjut perempuan berwajah judes itu.     Pak Abdul memejamkan matanya sejenak. Dadanya terasa sakit mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang dinikahinya bertahun-tahun lalu itu.     “Apa kurangku padamu, Midah? Apa kurangku?” Pak Abdul berkata dengan nada tinggi tepat di depan muka istrinya itu.     Lelaki itu tak menyangka jika semuanya akan seperti ini. Dia menyesal telah m
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status