Ghani mengembuskan napasnya dengan sedikit kasar. Dia tak pernah merasa semarah ini pada sang ibu. Kilasan masa lalu mulai membayang dalam benak lelaki 35 tahun itu. Rasa sakitnya pun masih jelas membekas dalam hatinya. “Mas.” Ambar menyentuh bahu suaminya dengan lembut. Senyum manis terukir di wajahnya kala menegur sang suami. Ghani menoleh. Senyuman manis juga terukir di wajah tampannya. “Kenapa? Kok melamun?” tanya Ambar dengan lembut. Ghani menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Emosi dan amarah masih tersisa di dalam hatinya. “Aku nggak apa-apa.” Hanya itu yang keluar dari mulut lelaki itu. Ambar menghela napas panjang. “Kalau nggak apa-apa, kenapa melamun di sini? Lagi ada yang dipikirkan?” Ghani lagi-lagi menarik napas dan men
“Sebaiknya kamu jujur pada ayahmu,” saran Bu Siti. Saat ini Bu Siti dan Anisa sedang berada di teras rumah Anisa. Mereka berdua memutuskan pulang karena hingga siang masih belum juga berhasil menemukan Irfan. “Supaya ayahmu juga tahu apa yang sedang kamu alami sekarang. Ibu tidak akan pernah membela Irfan jika dia bersalah.” “Ibu akan tetap membela kamu, Nisa,” pungkasnya. Anisa hanya bisa diam mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Memang benar, sebaiknya dia berkata jujur pada Pak Dullah. Tapi… apa itu tidak akan mengganggu kesehatan pria itu? Anisa hanya takut jika dia berkata jujur, kesehatan sang ayah akan terganggu. Dia belum siap kehilangam cinta pertamanya itu untuk selamanya. “Anisa nggak tahu, Bu. Anisa takut kalau… kalau… Anisa jujur nanti akan…”&
Mata Pak Abdul merah. Keduanya tangannya terkepal kuat hingga urat-urat di tangannya bersembulan. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang memburu. Darahnya mendidih dan gigi-giginya bergemelutuk. “Kamu nggak tahu apa-apa tentang perasaan ku, Pak. Kamu nggak bakalan mengerti apa yang aku rasakan!” teriak Bu Hamidah. “Sejak pertama kali aku mengenalnya, aku sudah menaruh hati padanya. Aku mencintai dia melebihi rasa sayangku pada diri sendiri,” lanjut perempuan berwajah judes itu. Pak Abdul memejamkan matanya sejenak. Dadanya terasa sakit mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang dinikahinya bertahun-tahun lalu itu. “Apa kurangku padamu, Midah? Apa kurangku?” Pak Abdul berkata dengan nada tinggi tepat di depan muka istrinya itu. Lelaki itu tak menyangka jika semuanya akan seperti ini. Dia menyesal telah m
"APA, MAS? KAMU DIPECAT?" Anggun berkacak pinggang sambil memekik keras di depan sang suami. Gunawan hanya mengangguk saja. "Maafkan aku, Dek. Tapi pabrik sedang mengalami kemunduran. Jadi sebagian besar karyawan harus dirumahkan. Termasuk aku," jelas Gunawan. "Terus aku sama Ibu mau makan apa kalau kamu nggak kerja, Mas?" tanya Anggun. Gunawan menghela napas panjang. "Aku janji akan mencari pekerjaan setelah ini. Aku akan berusaha keras agar kalian bisa makan," jawabnya. Anggun berdecak kesal saat mendengar jawaban sang suami. Dalam hati dia bersyukur karena sang suami dipecat. Dia jadi mempunyai sebuah alasan untuk berpisah dari lelaki itu. "Kamu tuh harusnya bisa mempertahankan posisi kamu di pabrik. Kamu kepala pengawas, kan?" ujar Anggun. "Iya. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa saat pemilik pabrik merumahkan sebagian besar karyawannya," sahut Gunawan. "Dasar menantu nggak
Gunawan segera mengajak Anggun untuk pulang ke kampung halamannya begitu mendengar kabar duka itu. Sepanjang perjalanan, air mata Gunawan tak berhenti menetes. Ada segumpal sesal dalam yang bersarang dalam dada saat tak bisa menemani sang ibu di saat-saat terakhirnya. "Udah deh nggak usah cengeng. Lebay banget sih!" ketus Anggun. Gunawan menatap sang istri sekilas. Dia kemudian mengusap air matanya tanpa merespon ucapan sang istri yang terdengar menyakitkan hati itu. "Biarpun kamu tangisin sampai air mata kamu habis. Orang mati nggak bakalan hidup lagi," lanjut wanita bertubuh kurus itu. Gunawan masih diam saja. Dia tak ingin meladeni ucapan sang istri yang semakin tak enak didengar itu. "Seandainya aku tahu ibu akan pergi secepat ini… aku pasti akan sering pulang untuk menengok ibu," ucap Gunawan penuh penyesalan. Anggun melirik malas saat mendengar ucapan sang suami. Dia sama sekali tak suka mendengar penyesalan suaminya
Gunawan membuka pintu rumah itu. Dia terkejut saat melihat siapa yang datang ke rumahnya. "Kalian?!" pekik Gunawan tertahan. Orang-orang yang berdiri di depan Gunawan tersenyum. Mereka semua sudah menduga jika Gunawan akan terkejut dengan kedatangan mereka semua. "Assalamu'alaikum, Gun!" sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah Samsul, salah satu rekan kerja Gunawan semasa di pabrik dulu. "Wa-wa'alaikumusalam," jawab Gunawan. "Maaf kami datangnya mendadak. Soalnya baru tahu kalau kamu sedang berduka," ucap Samsul. "Iya, Gun. Maaf kami baru bisa datang ke sini setelah pulang kerja," sahut yang lainnya. Gunawan mencoba tersenyum. "Enggak apa-apa. Aku senang kalian mau datang. Eh iya! Mari silakan masuk!" ajak Gunawan. Mereka lantas masuk ke dalam rumah secara bergantian. "Kami turut berdukacita ya, Gun atas meninggalnya Ibu kamu." Samsul berkata setelah mereka semua masuk dan duduk di lantai ru
Gunawan menghela napas panjang dan memantapkan hatinya untuk membuka pintu rumah sederhana itu. "Assalamu'alaikum." Gunawan mengucapkan salam sembari memutar knop pintu. Anggun dan bu Ika segera menghentikan obrolan mereka kala melihat Gunawan masuk ke dalam rumah. "Baru pulang? Udah dapat kerjaan belum?" Anggun bertanya dengan angkuhnya saat sang suami baru saja masuk. Gunawan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan beruntun dari sang istri. Dia lantas menempatkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tengah. "Tolong buatkan aku kopi, Dek. Aku haus!" pinta Gunawan. Anggun berdecak kesal. Dia lantas tersenyum mengejek kala mendengar permintaan sang suami. "Apa? Haus? Mau kopi?" ujar Anggun. Gunawan menganggukkan kepalanya. "Tolong, ya. Aku capek sekali hari ini," ucap Gunawan lagi. Anggun tersenyum miring. "Tangan sama kaki kamu masih lengkap, kan? Masih bisa berfungsi dengan norma
Gunawan dan para pekerja lainnya serentak menoleh ke sumber suara. Meninggalkan kenikmatan makan siang demi menuruti rasa penasaran dalam hati.Belum hilang rasa penasaran mereka, tiba-tiba pak Adi datang dan menegur mereka semua. "Jangan usil jadi orang. Ayo kembali kerja lagi! Kerja! Kerja!" Pria itu bertepuk tangan untuk menyuruh para pekerjanya kembali bekerja. Mereka semua akhirnya membubarkan diri. Mereka kembali bekerja hingga tak terasa waktu pulang telah tiba. Gunawan dan yang lainnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. "Kamu pulang naik apa, Gun?" tanya pak Adi. "Naik sepeda, Pak," jawab Gunawan. "Sepeda? Sepeda ini?" Pak Adi bertanya sembari menunjuk sebuah sepeda onthel yang dipegang Gunawan. Gunawan mengangguk. "Iya, Pak. Sebenarnya sepeda ini milik almarhum mertua saya. Sayang kalau nggak dipakai. Jadi, saya perbaiki sedikit supaya bisa dipakai kerja," jawab Gunawan. Pak Adi ma