Semua Bab Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku: Bab 41 - Bab 50
51 Bab
Bab 41: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Bisa bicara sebentar? Ke ruangan saya!” Pagi-pagi Pak Dama datang ke kantor dan langsung menghampiri meja kerjaku. Tidak sempat meletakkan tas atau melepas sweeter, pria itu sudah memanggil dengan mimik serius. Dia tidak menunggu sampai diriku berkata iya dan bergegas menuju ruang kerjanya yang masih tertutup rapat. Paham dengan apa yang dimaksud Pak Dama, aku beranjak meninggalkan kursi. Tatapan bingung dari beberapa karyawan lain juga tidak kuhiraukan, apa lagi bibir mereka yang mulai bergosip tentang alasan kenapa Pak Dama memanggilku ke ruangannya. Kuucap salam saat mendorong pintu ruangan Pak Dama. Pria itu sudah duduk di balik meja dengan sorot wajah serius dan sedikit gelisah. Dia berpura-pura tenang dengan membaca isi laporan yang kutinggalkan di mejanya kemarin, namun tangannya yang bermain-main dengan pulpen tidak bisa berbohong. Pak Dama khawatir, atau mungkin takut jika dirik
Baca selengkapnya
Bab 42: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku  
“Bisakah? Aku mohon ....” Nada bicaraku mengendur. Panik, bingung sekaligus malu. Aku telah menjadi pusat tontonan anak kost dan seluruh tetangga yang ada di gang ini. Mereka yang biasanya hanya terlihat saat pergi dan pulang bekerja, kini bisa kutemukan di depan rumah, memerhatikan kejadian yang berlangsung saat ini di depan mereka. “Banyak omong, minta tolong siapa kamu? Perempuan biadap!” Istri Pak Dama menyerangku. Dia mengambil gawai, merebut dan melihat nama yang tertera di layar. Bibirnya seketika tersungging, wajahnya menunjukkan betapa bengisnya dia terhadapku saat ini. “Lihat ini, Pa ... lihat ini! Perempuan yang Papa suka minta tolong sama orang lain. Papa kira, di dunia ini Papa akan jadi satu-satunya?” Istri Pak Dama berteriak. Alhasil, permasalahan yang menimpa kami semua terumbar. Beberapa orang mulai menggosipkanku, mencela dan
Baca selengkapnya
Bab 43: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya. Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu. Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku. Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan. “Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari
Baca selengkapnya
Bab 44: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa. Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang. Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain. Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak. Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat. “Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan. Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti. Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
Baca selengkapnya
Bab 45: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut. Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru. Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku. Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu. Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang. “Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Baca selengkapnya
Bab 46: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku. Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun. Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok. “Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku. Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv. Dari sorot mata
Baca selengkapnya
Bab 47: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan. Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu. Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih. Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu. Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya. Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Baca selengkapnya
Bab 48: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu. Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas. Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal? Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya. Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian. “Kamu ingin tahu?” Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Baca selengkapnya
Bab 49: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu. Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik. Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. “Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku. Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja. Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
Baca selengkapnya
Bab 50: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku
Empat Tahun Kemudian     “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku.   Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya.   “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa.   Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru.   “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya.   “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.”   Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status