All Chapters of Aku Bosan Menjadi Istrimu: Chapter 11 - Chapter 20
32 Chapters
Kecewa
Kepalang tanggung, ini suapan terakhirku, sayang kalau tidak dihabiskan. Kuabaikan sejenak Ibuk, menikmati suapan terakhir yang begitu nikmat. Kata guru mengajiku waktu kecil, berkah suatu makanan, terletak di suapan terakhir. Jadi, aku tak mau membuangnya sia-sia. Setelah semua tertelan, segera kuraih air putih, lalu menghabiskannya hingga tetes terakhir."Alhamdulillah," ucapku. Kuusap perutku yang agak membuncit karena kekenyangan. Kulihat, Ibuk mencebik kesal."Dasar mantu enggak peka!" sindirnya."Apa lagi, sih, Buk?""Kamu makan enak, enggak nawarin Ibuk. Enggak punya perasaan," gerutunya. Kutinggalkan Ibuk yang masih mengomel tak jelas. Setelah mencuci tangan dan mengelapnya, kuhampiri Ibuk kembali."Jadi, dari tadi Ibuk lihatin aku, karena pengen makan juga?""Hem," jawabnya sambil melengos. Ibu berlalu menuju dapur, layaknya majikan, beliau memeriksa keadaan dapurku."Kamu enggak masak apa-apa?" dibukanya tudung saji yang kosong melompong."Tidak, Buk.""Dasar boros, mauny
Read more
Perkara ATM
Mataku kian memanas. Hatiku semakin sesak, bagai dihimpit bongkahan batu raksasa. Tak pernah terbayangkan olehku, akan mengalami permasalahan rumah tangga seperti ini. Akankah semuanya berakhir saat ini? Mengingat Mas Haris tetap kekeh mempertahankan egonya."Mas harus ambil keputusan. Kalau kamu lebih memilih Ibumu, lebih baik lepaskan aku." Air mata bergulir di pipi."Rin, kita bisa memperbaiki semuanya." Kutatap matanya, ada kesungguhan di sana. "Jangan cuma bicara, aku butuh bukti!"Mas Haris menghela nafas."Bukti apa lagi, aku masih menyayangimu, Rin." Digesernya kursi mendekatiku.Aku berdecih. Sayang, dia bilang. Apa selama ini yang dilakukan padaku, bukti kasih sayangnya?"Sayang yang bagaimana, Mas? Selama ini aku tertekan oleh sikapmu dan Ibuk. Kamu lebih sayang Ibuk dan adikmu daripada aku. Bahkan, keuangan yang seharusnya kuatur, malah kamu limpahkan pada Ibuk. Kamu tak mempercayaiku sebagai istri. Rumah tangga kita sudah tidak sehat," ucapku tak tahan lagi. Selama ini,
Read more
Apa yang Terjadi?
Ibu dan Bulik memandangku bergantian, menanti jawaban dari mulut, yang terus terbungkam. Tak sanggup diriku, walaupun hanya mengangkat wajah. Mata kian memanas, seakan ingin kutumpahkan semuanya sekarang. Namun, aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Aku tak mau gegabah."Suaminya Rini pasti masih di kantor. Iya, kan, Nduk?" Bulik tersenyum kearahku. Namun, serasa sebuah sindiran di telinga ini.Kuanggukan kepala agar mereka tak semakin curiga. Aku harus menunggu waktu yang tepat, untuk menceritakan semuanya."Nanti, kalau suamimu datang, bangunkan Ibuk ya. Ibuk mau bicara," ucapnya pelan, namun berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan.Lagi-lagi, aku hanya menganggukan kepala. Sementara Bulik, memandangku dengan tatapan tak biasa, seolah tahu kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu. "Ibuk mau makan?" tanyaku mengalihkan perhatian."Perut Ibuk sakit, buat makan," ucapnya menggores hati."Kenapa Ibuk gak telfon Rini, kalau sakit. Kan Rini bisa rawat Ibuk."Ibuk hanya diam, sesekal
Read more
Kembalikan Uangku
Aku mengusap bahu Ibuk pelan, mencoba menyalurkan kekuatan, tapi sepertinya mustahil, karena Ibuk masih tetap terisak.Bulik dan Paklik pun, tak kalah khawatir. "Apa ada yang dirasa, aku panggilkan dokter, ya," ujar Paklik panik."Cepat, Pak, panggil dokter." Bulik tak kalah panik."Gak usah, Yanto," cegah Ibuk. Paklik Yanto yang sudah sampai ambang pintu, mendadak berhenti. Bingung, antara mau kembali, atau tetap memanggil dokter."Sakitku tak akan bisa disembuhkan oleh dokter manapun.""Buk."Kucoba menenangkannya."Nduk, apa kamu bahagia, selama ini?" "Kenapa Ibuk tanya seperti itu?" "Jawab Nduk!" "Buk, pasti Rini mengadu, kan, sama kalian semua?" Tiba-tiba Mas Haris bak orang kepanasan. Mungkin, takut boroknya terbongkar."Apa maksudmu?" tanya Ibu sinis.Mas Haris semakin gelapan. Dia termakan omongannya sendiri. "Anak saya tidak seperti itu. Saya sudah tahu, semua kebohongan kamu selama ini," ujar Ibuk."Maksudnya apa tho, Mbakyu?" Paklik Yanto sudah tak tahan untuk tahu lebi
Read more
Talak
"Nduk."Ada yang menepuk pipiku lembut. Bau minyak kayu putih menusuk hidungku. Aku paling tidak suka, dengan bau minyak kayu putih. Perlahan, kesadaranku kembali. Aku terbaring di ranjang Ibuk. Ternyata, aku pingsan tadi. Cairan bening kembali menetes dari ujung mataku, begitu mengingat kata talak dari Mas Haris. Ternyata, rasanya sungguh sakit. Tak pernah kusangka, akan sepedih ini.Kulihat sosok Mas Haris masih berdiri di ruangan ini, namun agak menjauh. "Tekanan darahnya sangat rendah, jadi Mbak ini, drop. Tolong jangan dibebani banyak pikiran dulu." Suster melepas alat untuk mengukur tekanan darah. "Tapi tidak apa-apa, kan, Sus?" tanya Ibuk cemas."Tidak, tolong dijaga emosinya saja, jangan sampai terlalu banyak beban. Baik, saya permisi dulu," ucap suster sambil berlalu."Nak Haris, tolong kamu pergi dulu, mungkin Rini masih syok. Dengan melihatmu di sini, dia akan kepikiran terus." Paklik menasihati Mas Haris, seperginya suster yang memeriksaku tadi.Ah, rasanya aku sudah ma
Read more
Tamu tak diundang
"Rini," pekik sesosok manusia dengan pahatan begitu sempurna diwajahnya. Matanya yang teduh, dilengkapi bulu mata yang lentik, tengah memandangku. Bibirnya selalu dipenuhi dengan senyum yang menawan. Ibuk hanya tersenyum melihat kami berdua.Ibas, dia tetangga, sekaligus teman masa kecilku. Kami berteman sejak dari TK, sampai SMA. Kemana-mana, kami selalu berdua. Banyak yang mengira, kalau kami pacaran. Bahkan, dia rela memilih SMA negri, demi bisa bersama denganku. Padahal, dia termasuk keluarga berada. Bahkan, tergolong keluarga paling kaya, di kampung ini. Meskipun dari keluarga berada, dia tidak pernah sombong. Keluarganya juga supel, sehingga banyak tetangga yang suka pada mereka. Kedua keluarga kami memang lumayan dekat, bahkan mamanya Ibas pernah memberikanku biaya pendidikan, namun ditolak oleh Ibuk, karena takut berhutang budi.Awal perpisahan kami, ketika dia dan keluarganya, pindah kota. Entah kota mana, dia juga tidak memberi tahuku. Rasanya berat sekali, waktu itu. Kehil
Read more
Rujuk
Reflek, aku dan Ibas saling menjauh. Biar bagaimanapun, kami sudah dewasa, bila berdekatan begini, bisa menimbulkan fitnah. Sementara Ibas, menatapku penuh tanda tanya."Baru kemarin, aku menjatuhkan talak padamu. Sekarang, sudah dapat mangsa baru."Haris, siapa lagi kalau bukan si mulut lemas itu. Hilang sudah rasa hormatku padanya. Tak sudi rasanya memanggil dia dengan sebutan, Mas Haris.Aku diam saja, malas menanggapinya. Kuakui, aku juga salah, tidak bisa menjaga sikap di depan Ibas."Apa maksudmu?" tanya Ibas. "Seperti yang kamu dengar tadi, dia sudah jadi janda," tekan Haris santai. "Janda?" tanya Ibas heran seraya menatapku.Aku mengangguk lemah."Ya, dia sudah janda, bekasku."Bugh!Tak disangka-sangka, Ibas menonjok mulut Haris. Haris yang tidak siap, sedikit terhuyung ke belakang. Terlihat, darah merembes dari ujung bibirnya. Sepertinya, Ibas tidak main-main."Ibas!" Kuseret tubuhnya untuk menjauhi Haris. Ibas yang bersiap memukul kedua kalinya, segera kutarik. Cengkraman
Read more
Pov Haris
pov HarisTak disangka, Ibuk dan Suci pulang sambil menangis. Kata mereka, Rini mengumpat. Awas, ya, kamu Rin. Tanpa mendengar penjelasan Ibuk dan Suci, aku melenggang pergi. Aku harus mendengar penjelasan Rini, kenapa bisa, Suci dan Ibuk sampai menangis.Dengan kecepatan tinggi, aku sampai rumah. Pintu rumah dalam keadaan tertutup.BraakAku menendangnya. Emosiku sudah meletup-letup."Dek, ngomong apa kamu sama, Ibuk?" cecarku pada Rini.Bukannya menjawab, dia malah terlihat santai, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kamu ngomong apa tadi, sama Ibuk?" bentakku lagi. Aku sangat emosi dibuatnya.Rini malah meninggalkanku, lalu mencuci tangan dan mengelapnya. "Rin ...," geramku karena tak kunjung menjawab."Kamu dengar aku gak, sih?" bentakku lebih keras lagi."Kamu bentak aku, Mas?" tanyanya.Ya, ini pertama kalinya aku membentaknya. Aku benar-benar khilaf."Dek, tadi kamu ngomong apa sama Ibuk dan Suci. Mas cuma mau tau aja," aku mencoba mengambil hatinya."Gak ngomong apa-apa kok, Mas
Read more
Pov Rini
Pov Rini"Gila, kamu sungguh sudah tidak waras. Setelah apa yang kamu perbuat padaku, sekarang dengan entengnya kamu minta kita rujuk. Sampai kapanpun, aku tidak sudi kembali padamu." "Suatu saat, kamu akan menyesal, Rin, telah meninggalkanku," pede sekali dia. "Kamu yang akan menyesal. Jangan pernah ganggu Rini, atau, kamu akan berurusan denganku!" Ibas sudah berdiri di belakangku. "Wow, jangan-jangan, kamu suka Rini, ya? Janda gatel aja, kok dibela," ujar Haris menjengkelkan.Aku menjadi janda kan, gara-gara dia juga. Mungkin otaknya sudah geser, tak bisa berfikir lagi apa yang dia ucapkan."Kalau iya, kenapa?" DegApa yang dikatakan Ibas? Apa hanya sekedar membelaku dari Haris, atau ada maksud lain?Hatiku sungguh berbunga-bunga. Selama menikah dengan Haris, tak sekalipun, dia membelaku. Sekarang, diperlakukan begini oleh Ibas, hatiku sungguh bahagia."Woi, sadar Rin. Gak pantas kamu bersanding dengan Ibas. Dia itu tampan, kaya, lah kamu, miskin, janda lagi," rutukku dalam hati
Read more
Belum Sah
"Aku ke dalam dulu, Ibuk manggil," pamitku, tanpa menunggu persetujuannya.Ibas menghela nafas kecewa. Aku mau tersenyum geli, namun tak tega. Akhirnya, kusimpan senyumku dalam hati. Pasti dia kecewa. Aku sudah hafal perangainya, dia tidak akan mau menunggu. Dia paling tidak sabaran. Pasti, sebentar lagi, dia akan mendesakku lagi."Ada apa, Buk?" tanyaku lembut."Ibuk capek duduk, tolong bantu Ibuk ke kamar, ya!" Ibuk hendak berdiri dari kursi. Aku sampai lupa, kalau Ibuk masih di ruang tamu. Ah, semuanya jadi kacau. Bagaimana, kalau beliau sudah mendengar semuanya? "Bas, kamu sudah mau pulang?" teriak Ibuk, sambil bangun dari duduknya."Belum Buk, masih kangen sama Rini," ucapnya tanpa malu.SerrrHatiku berdesir, pipiku terasa menghangat. Pasti, wajahku sudah seperti udang rebus.Dulu dia juga sering bicara begitu, namun hatiku biasa saja. Sekarang, dia bicara begitu, hatiku begitu berbunga-bunga."Gak baik, kalau belum sah," sahut Ibuk."Apaan sih, Buk?" Aku menunduk malu sambil
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status