Viana menggenggam setir erat-erat, tangannya masih gemetar, wajahnya pucat, dan napasnya memburu tak beraturan. Suara mesin meraung kencang, mengguncang tubuh mobil. Di kaca spion, bayangan motor hijau itu masih membuntuti—Andi, dengan mata merah membara dan ekspresi seperti iblis haus darah. Jalanan mulai sempit, membelah antara rumah-rumah padat penduduk, tapi kejaran itu tak berhenti. Viana menggertakkan gigi, mencoba menepis rasa panik yang makin mencengkeram dadanya.“Tenang, lo bisa ... lo bisa,” gumamnya berulang kali seperti mantra, memaksa dirinya tetap waras.Suara ban menggerus aspal terdengar dari belakang, keras dan agresif. Andi membunyikan klakson motornya berulang kali, seolah ingin mencabik-cabik konsentrasi Viana. Motor itu menyusul dari sisi kanan, hanya berjarak sehelai rambut dari jendela mobil. Viana menoleh cepat. Dia melihat tatapan itu—mata penuh kebencian, penuh dendam. Andi membuka mulutnya, berteriak sesuatu, tapi yang terdengar di dalam mobil hanya raungan
Last Updated : 2025-07-17 Read more