“Hah… hah… hah…” Dada Nayara naik turun cepat. Sesak itu datang tiba-tiba, seolah dadanya dicekik dari dalam. Gemerlap pesta, kerumunan, musik yang hingar-bingar—semuanya berbaur jadi pusaran yang membuat kepalanya berputar hebat. Pandangannya mulai buram, tubuhnya goyah, hampir limbung.Seketika, sebuah tangan kekar menopang pundaknya. Hangat, kokoh, sekaligus asing.“Ibu Nayara, akan saya antar pulang.”Suara itu dingin, tenang, begitu dikenalnya. Dan saat menoleh, Nayara hampir tak percaya. Penampilannya kini menyaingi Rei—rapi, berwibawa, namun dengan aura lebih dewasa. Wajah dinginnya masih sama, tetap kokoh menempel, seperti pahatan batu yang tak pernah berubah.“Brima…” bibir Nayara bergetar, lalu ia menunduk, menahan sakit di dadanya. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Bantu aku… cari taksi. Suamiku… sibuk dengan selingkuhannya.”Brima tidak banyak bicara. Ia hanya mengangguk, lalu menuntun Nayara keluar ballroom. Gerakannya tegas, tapi menjaga jarak—cukup dekat agar Nayara tak
Last Updated : 2025-09-08 Read more