Semua Bab Dinikahi Sang Penguasa : Suami Kontrakku Memberi Segalanya: Bab 211 - Bab 220

Satu jam sebelumnya Lily menahan tangan Arsen. Dia menggeleng menatap iba ke Arsen untuk mencegah pria itu pergi menemui Arya. “Aku mohon, jangan pergi ke sana.” Mata Lily berkaca-kaca. “Aku rasa hari ini waktunya, aku harus menyelesaikan semua urusanku dan Arya,” balas Arsen. “Tapi perasaanku tidak enak.” Lily masih menahan Arsen. Air matanya menetes saat Arsen merangkum pipinya. “Aku mohon jangan pergi,”pinta Lily lagi. Namun, Arsen tetap meyakinkan. Dia meminta Lily untuk menunggu kabar darinya. Arsen bahkan melepas paksa tangan Lily yang memegang erat tangannya. Lily hanya bisa menangis. Di saat itu di kediaman Arya, Monica meminta Bryan segera menghubungi Arsen untuk memberitahu kalau Arya membawa senjata api. Namun, Bryan memilih tidak melakukannya. ** Di Arya Group Semua orang syok melihat seseorang jatuh dari rooftop. Polisi langsung mengamankan lokasi dan meminta semua orang menjauh. Tak lama dua unit ambulance datang ke sana. Yang pertama untuk mengevakuasi tub

Lily terus berada di samping Arsen. Di kamar itu ada Risha dan bibi Jess yang menemaninya. “Kenapa dia belum bangun-bangun?” tanya Lily cemas. Dia menangis lagi, padahal belum ada lima menit dia tenang. “Nona, bukankah tadi Nona mendengar ucapan dokter kalau kondisi Tuan tidak mengkhawatirkan? Ini hanya efek dari obat bius saat operasi,” ucap bibi Jess. Lily menggeleng, kantong darah yang selangnya menempel di lengan Arsen membuatnya tidak bisa tenang. Dia melihat wajah Arsen masih sangat pucat. “Nona sebaiknya istirahat, saya akan berjaga. Nanti saat Tuan bangun, saya akan membangunkan Nona.” Bibi Jess berusaha membujuk Lily. Risha yang melihat putrinya seperti ini hanya bisa membuang napas kasar. Dia memegang pundak Lily, membenarkan ucapan Bibi Jess agar Lily mau istirahat. “Kamu juga belum makan,” ucap Risha lirih. “Lily, dengarkan Bunda! Sesedih apapun kamu saat ini, kamu tetap harus ingat ada janin yang sedang tumbuh di rahimmu, dia sangat bergantung pada ibunya, dan hanya

Lily mendengar suara Bryan yang sedikit bergetar. Dia tahu kalau saat ini Bryan sedang menangis. “Menyesal sekarang sudah tak ada gunanya. Aku hanya berharap kamu tidak menciptakan penyesalan lain karena dendam. Sekarang kamu harus kuat, kamu masih punya jalan hidup yang lebih panjang. Aku yakin kamu bisa berdiri dengan kakimu, kerjarlah mimpimu, bukankah kamu pernah bilang ingin membangun perusahaan otomotif?” “Hm … terima kasih sudah mengingatnya,” balas Bryan. Lily tak menjawab lagi dan memilih mengakhiri panggilan. Dia kemudian menghela napas kasar. Lily membalikkan badan, dia terkejut saat melihat Arsen yang ternyata sudah ada di belakangnya. “Se-sejak kapan kamu di sini?” tanya Lily kikuk dan salah tingkah. “Baru saja,” balas Arsen yang sudah bersiap untuk pergi ke rumah Monica. Lily mengangguk-angguk, lalu berkata, “Aku baru saja menghubungi Bryan. Setidaknya aku mengucapkan turut berduka meskipun tidak datang ke sana.” Arsen mengangguk-angguk seolah tak keberata

Pagi itu Lily masih kesal dan bersikap dingin pada Arsen. Bahkan dia tak bicara sama sekali sejak bangun tidur, sampai sekarang siap pergi bekerja. “Aku mau naik mobil sendiri ke kantor, aku tidak sempat sarapan, tapi tidak usah merepotkan Thomas untuk mengantar sarapan seperti waktu itu, karena aku sudah membawa bekal sendiri,” ucap Lily tanpa menatap pada Arsen. Arsen hanya memandang Lily tanpa mencegah. “Aku pergi dulu,” ucap Lily lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Arsen yang baru saja keluar dari kamar ganti. Saat baru saja menapaki anak tangga terakhir, Lily berpapasan dengan Bibi Jess yang membawakannya bekal. “Nona, bukankah luka Tuan belum benar-benar pulih, lantas kenapa Anda memperbolehkan Tuan ke kantor?” tanya Bibi Jess seraya menyerahkan kotak bekal. Lily menatap ke lantai atas lalu menjawab, “Dia sudah dewasa, tidak perlu dicemaskan seperti anak kecil.” “Aku pergi dulu,” ucap Lily lalu meninggalkan Bibi Jess. Bibi Jess membuang napas kasar, lalu sete

Arsen tak ingin berdebat dengan Lily dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke perusahaan. Dia langsung menghubungi Thomas, sesaat setelah Lily turun di lobby, meninggalkannya tanpa bicara. "Aku harus ke rumah sakit, tapi tidak bisa menyetir. Aku tunggu di lobby," ucap Arsen saat Thomas menjawab. Thomas bergegas turun dengan wajah cemas. Dia berjalan ke arah pintu sopir saat Arsen turun dan hendak pindah ke kursi penumpang. "Pak!" Thomas cemas melihat Arsen meringis. Dia bergegas masuk ke mobil agar bisa segera sampai ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Arsen tampak berjalan keluar dari ruang periksa. Di sebelahnya Thomas sedang menatap tangan kirinya yang sudah dilepas perbannya dan dokter menggantinya dengan plester kedap air. Arsen melirik Thomas sekilas, sekretarisnya itu tersenyum seraya membolak-balik tangan kirinya. "Akhirnya." Thomas senang luka di telapak tangannya sudah membaik. Akan tetapi dia meyadari sesuatu dan langsung menutup mulutnya. Thomas menoleh Arsen t