Keesokan paginya, Rafasya terbangun lebih dulu. Ia menoleh dan langsung melihat Kania yang masih tertidur, wajahnya tampak pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya.Rafasya meraba kening Kania—dan hatinya langsung mencelos. Kulit istrinya terasa panas, jauh lebih panas dari biasanya.“Kan … Sayang, kamu bangun dulu,” bisiknya, suaranya terdengar panik.Kania membuka mata perlahan, napasnya berat. “Raf, kepalaku pusing,” ucapnya pelan, suaranya serak.Melihat kondisi Kania, Rafasya langsung bangkit. Ia meraih ponsel dan dengan cepat menelpon dokter pribadi keluarga mereka.“Dok, tolong segera datang ke rumah, Kania demam tinggi,” ucap Rafasya dengan nada cemas.Tak lama, terdengar langkah cepat dari arah tangga. Tante Vita yang baru saja selesai memandikan Bu Ria—yang masih terbaring lemah dan belum bisa melakukan apa-apa sendiri—bergegas menghampiri. Wajahnya penuh kekhawatiran.“Ada apa, Nak? Kania kenapa?” tanyanya, napasnya masih terengah.Rafasya menoleh, suaranya bergetar.
Last Updated : 2025-07-11 Read more