All Chapters of Menjaga Adik Sahabatku: Chapter 31 - Chapter 40

Pekikan Davian selalu menjadi tombak bagi semua orang, suaranya melanting, menusuk pendengaran juga menggetarkan jiwa siapapun yang mendengar hal itu, lepas kendali. Davian telah lama memendam hal ini, bertahan dalam sepi, sunyi dan kerinduan serta kecemburuan sosial ketika dia melihat keluarga orang lain tampak baik dan berperan pada porsinya. Tetapi tidak dengan keluarganya. "Kalian tahu?" tekan Davian berkaca-kaca, hidungnya mengembung dipenuhi oleh butiran tangis. "Dav, lu, gak punya orangtua apa?" tutur Davian menahan gelembung pedih dalam dada. Buih-buihnya seperti berkumpul di lokasi yang sama dalam dada sana. "Dav! Kayaknya lu bukan anak yang diinginkan! Dav! Kayaknya elu anak haram, Dav! Kayaknya elu itu ...," sambung Davian dengan suara bergetar lagi parau. Davian mendekat pada Josef dan Tyana yang bergetar memandangi bagaimana putra mereka menahan amarah. "Anak yang dijadikan batu loncatan, dimana dibutuhkan, baru orangtua

Sang ballerina bertubuh tinggi nan indah itu mengikuti arahan fotographer, berlenggok centil sesuai keinginan mereka, mengangkat dagu, membenamkan senyum dan menampilkan wajah misterius yang memukau. Tangan jengkit nan gemulai Vemilla merangkak di sekitar leher, sedang tubuhnya terduduk di sebuah alas berbulu lembut, dia berpose layaknya supermodel yang dia sering saksikan di televisi-televisi atau media online. "Oke, goodjob Vemilla," sahut sang sutradara yang mengarahkan fotographer juga model. Dia berjalan ke sisi kiri, mengayunkan tangan sebagai upaya perintah darinya untuk samg fotographer, dengan demikian, Vemilla pun mengikuti arahan tersebut. "Sekarang duduk dengan dua kaki dilipat anggun dan tangan di sekitar leher, kemudian di arahkan ke telinga, membuka rambut, ya." Arahnya lagi. Vemilla tidak bicara, dia hanya fokus dan sesekali menganggukkan kepala sebagai jawaban bagi semua orang yang mengarahkan. Lagi, gadis

Hening meringkus pendengaran. Panggilan telepon terputus saat perbincangan berakhir. Petra menyusuri tiap-tiap pasir putih di pantai terdekat dari hotel tempatnya menginap. Menggeleser ke tepian pantai, menyisir wilayah yang telah dia lacak sebelumnya atas bantuan seseorang ahli di bidangnya, satu per satu manusia di depan sana tak luput dari perhatiannya. "Kalau gak salah, gadis itu bekerja di sebuah restoran tepi pantai sebagai pelayan," seru Petra tetap menjelajahi wilayah tersebut. Berjalan jauh dari pintu masuk pantai, ditemani cahaya matahari yang lebih ganas dibanding perintah Davian, lelaki itu mengikuti kata hati dan isi kepala yang menjadi penunjuk arah. Melewati tenda-tenda yang berjajar, dihuni turis-turis berkulit putih, adapula bermata sipit, Petra mengayuh langkah lebih cepat sampai dia menyaksikan bagaimana gadis yang dicarinya tengah kewalahan melayani banyak pelanggan. "Geg, tiang mesen soda

Terpatah-patah gadis itu menyusuri ruangan dengan gerakan mundur, hatinya berdebar tak karuan, memandangi seorang lelaki asing yang berjalan sempoyongan seraya menarik dasi dan melepaskan satu per satu kancing kemejanya. Dia tertawa, mengerikan, letupan tawa itu menguliti pendengaran Vemilla, gadis itu semakin ketakutan. Perlahan penglihatan Vemilla ikut kabur, kepalanya merasa berat dan berputar-putar. "Akh, ke-kenapa kepalaku jadi berat," keluh Vemilla memejamkan mata kuat-kuat sambil menggelengkan kepala. Beberapa kali dia tepuk kepala guna meringankan beban yang menusuk kepalanya, pelan-pelan aliran napas ikut memberat, ia membara—sekujur tubuhnya seakan terbakar oleh suatu hal. "Akh ..., K-kak Davian ..., kamu di mana? Di-dia gak mungkin ninggalin aku, 'kan?" racau Vemilla bernapas berat. Terhuyung-huyung Vemilla merangkak ke belakang hingga tubuhnya melempai lemah di dinding, menempel. Meraba-raba leher, berselancar ke bel

Lelaki bertubuh tinggi itu bersandar pada meja di belakangnya. "Halo, Bryan, sibuk?" Andalan Davian sedang memgemban tugas besar di Bali, sehingga dia harus merepotkan COO perusahaannya, Bryan adalah orang ke-dua yang amat dipercayainya. "Ya, Pak. Aman kok, Pak, ada yang bisa saya bantu?" Suara di seberang sambungan telepon itu menjawab. "Tolong pinta siapapun yang ada di tim wardrobe untuk menyiapkan baju tidur wanita lengkap dengan ...," pinta Davian, di akhir ucapan, lelaki ini memanjangkan intonasi suaranya. Harap-harap Bryan mengerti maksudnya, tentu saja dia ragu untuk mengatakannya secara gamblang. Tatapan Davian terkatung-katung, di samping itu wajahnya malah memerah. "Baik, Pak, saya paham." Davian menyeringai, nyatanya nyaris semua bawahannya memiliki otak yang cerdas, salah satunya Bryan, jika Petra sudah jelas, ini salah satu alasan mengapa pria berusia 27 tahun itu dijadikan sekret