Semua Bab Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa: Bab 201 - Bab 210

BOOOMMM!!!Sebuah ledakan cahaya menyilaukan menerangi seluruh lembah—membelah kegelapan, membungkam api Phoenix sejenak. Tubuh Kevin lenyap di dalamnya. Hanya suara angin ribut dan gema kekuatan purba yang tersisa.Dan dari cahaya itu…Seekor Naga Biru raksasa muncul, perlahan mengangkat tubuhnya dari kawah energi. Sisiknya berkilau seperti pecahan kristal es yang dibalut nyala api. Setiap gerakannya seperti badai petir yang mengendap di permukaan samudera.Matanya menyala—dua kristal bercahaya, penuh kesadaran dan amarah yang tertahan. Dari rahangnya yang bergerigi, keluar embusan asap putih beku yang menggulung, namun di dalamnya terselip bara merah yang menyala seperti inti bumi.Langit di atas bergolak. Phoenix Hitam di udara mengeluarkan raungan dalam bahasa langit yang tak dimengerti manusia.Tapi kini, Kevin sudah bukan manusia biasa lagi.Ia adalah jawaban bagi kehancuran.Ia adalah Naga Biru, warisan terakhir dari kekuatan yang tak mengenal kata tunduk.Udara tiba-tiba menega

Langit yang sebelumnya ditelan kegelapan kini perlahan membuka dirinya, seolah ikut menghela napas panjang setelah badai. Warna kelabu berganti semburat oranye keemasan dari matahari yang mencoba menembus kabut energi yang masih menggantung rendah, melayang seperti sisa-sisa mimpi buruk yang enggan pergi.Lembah di bawahnya telah berubah menjadi medan luka. Batu-batu besar berserakan, retak dan sebagian mengambang dalam energi tak kasatmata. Tanah terbelah oleh jejak pertempuran maha dahsyat. Aroma logam dari darah, asap hangus dari api Phoenix, dan udara dingin menusuk tulang dari napas sang Naga Biru berkelindan di udara—menciptakan campuran bau kematian dan kemenangan yang menyiksa dan membingungkan.Kevin muncul dari kabut spiritual. Perlahan-lahan, tubuh manusianya terbentuk kembali—seperti pahatan dari cahaya yang ditarik paksa ke dunia fana. Ia terhuyung dua langkah ke depan, napasnya terputus-putus, pelipisnya dibasahi keringat dan darah yang telah mengering. Meski luka-luka me

Langkah demi langkah, Kevin dan Valkyrie terus maju, menembus jantung terakhir dari Hutan Ilahi—hutan kuno yang seolah memiliki kesadaran sendiri.Setiap helai daun berdesir bukan hanya karena angin, tetapi karena mereka membisikkan nama-nama tua, kisah-kisah lama yang tak lagi diceritakan oleh manusia. Cabang-cabangnya merunduk seakan mendengar, sementara ratusan 'mata' tak kasatmata tersembunyi di balik rimbun daun, mengamati setiap gerakan mereka.Akar-akar hitam melingkar di sepanjang tanah, menyembul dari bawah dedaunan seperti urat naga kuno yang sedang tidur. Langkah kaki Kevin dan Valkyrie terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena tanah itu sendiri mengingat siapa saja yang pernah menginjaknya.“Tempat ini … seperti hidup,” gumam Valkyrie lirih, matanya menyapu pepohonan yang seolah bernafas.Kevin tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, matanya fokus menatap cahaya samar di kejauhan—sebuah tembok tak kasatmata yang ia tahu sebagai batas spiritual terakhir.Saat keduanya

Di tengah jantung Kota Surgawi—tempat di mana Qi paling murni mengalir dari tanah ke langit—sebuah menara kristal putih menjulang tinggi, memecah awan dan menyentuh langit biru yang berdenyut pelan seperti dada dunia yang bernafas.Menara itu tidak biasa. Kristalnya bukan kristal duniawi, melainkan material langit yang hanya bisa dibentuk melalui teknik pemurnian ribuan tahun oleh para tetua zaman kuno. Permukaannya memantulkan cahaya spiritual seperti cermin abadi, memancarkan kilau lembut yang menusuk ke dalam batin siapa pun yang memandang.Di puncak menara, ruang pengamatan berbentuk kubah menyimpan satu artefak yang tak ternilai ... bola pantau spiritual, sebuah bola bercahaya perak yang berputar pelan tanpa disentuh, menampilkan citra-citra dari tempat jauh di seluruh Tanah Terlarang.Dalam ruangan itu, tiga tetua berjubah hitam duduk membentuk segitiga, mata mereka tak berkedip menatap bola itu. Raut mereka penuh keriput, tapi mata mereka tajam seperti elang kuno, memantau segal

Langit di atas Kota Surgawi membentang biru jernih, namun bukan sembarang biru—melainkan biru yang berkilau seperti safir hidup, dipenuhi aliran Qi tak kasat mata yang menjalin jaring halus di udara. Setiap napas yang dihirup di kota ini seolah mengandung sepotong kekuatan langit, membuat dada terasa penuh energi, dan kepala bergetar pelan seperti disentuh petir lembut.Qi spiritual mengalir laksana arus sungai transparan yang menari melalui jalan-jalan berlapis batu giok, membentuk formasi perlindungan yang tak terlihat namun terasa seperti napas naga kuno yang mengawasi. Rumah-rumah bertingkat menjulang dengan atap-atap dari kristal spiritual, memantulkan cahaya menjadi ribuan pelangi samar yang melukis bayangan di jalanan kota.Di antara arus manusia, para cultivator berjalan dengan aura penuh percaya diri—atau lebih tepatnya, kesombongan. Jubah mereka berkibar pelan ditiup angin Qi, sementara di punggung mereka tergantung pedang-pedang bersinar, sebagian terbungkus segel emas, seba