Dewa refleks berdiri. “Bulan depan, ya? Hmm. Nanti tidak ada yang membuatkan herbal lagi setiap pagi.”Andini ikut berdiri, lalu mendekatinya. “Aku sudah membuatkan stok, Om. Tapi hanya cukup untuk satu minggu saja—”Dewa tak bisa menahan senyumnya. Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu menatap Andini dalam-dalam.“Aku belum siap ditinggal,” gumamnya lirih, meski masih berusaha terlihat tenang.Andini terkekeh, lalu meraih tangan Dewa yang sedari tadi terlipat. Tunggu, kenapa mereka terlihat seperti suami istri sungguhan?“Om Dewa, aku hanya akan masuk kuliah, kok—”Dewa terdiam. Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, memeluk Andini—pelukan yang gengsi, tetapi erat.Andini membeku. Mengapa Dewa memeluknya? Dan mengapa pelukan itu terasa begitu nyaman?Waktu seolah melambat. Saat Dewa akhirnya melepaskan pelukan, pandangan mata mereka bertemu.“Mau pamitan ke mana dulu?” tanya Dewa, mengalihkan pandangan ke dinding.“Um, terserah Om. Mau ke rumah Ayah dan Ibu atau ke rumah Ayahku dulu,” jaw
Terakhir Diperbarui : 2025-06-10 Baca selengkapnya