Dipta baru saja memarkir mobilnya di garasi. Wajahnya tegang, langkahnya berat seperti habis menelan pil pahit. Begitu masuk ke ruang tamu, aroma teh melati hangat langsung menyambutnya.Di sofa, dr. Salwa, sang ibunda tercinta tengah duduk anggun dengan gamis warna pastel, kerudungnya rapi. Ia sedang membaca buku tafsir kecil sambil menunggu. Begitu melihat anaknya, senyum hangat terbit di wajahnya.“Pulangnya telat, Nak,” ucapnya lembut, menutup buku.Dipta hanya mengangguk, melepas jas dokternya, lalu duduk di kursi berseberangan. “Biasa, pasien.”Mata dr. Salwa menyipit sedikit, mengamati ekspresi anaknya. “Pasien… atau seseorang?”Dipta mengangkat alis. “Maksud Mami?”“Mami sudah cukup lama jadi dokter… dan cukup lama jadi ibumu.” Suaranya pelan tapi menusuk. “Wajah kamu itu kalau bete sama orang, kelihatan dari pintu gerbang.”Dipta menghela napas berat, bersandar ke kursi. “Bukan apa-apa, Mi. Cuma… ada orang yang bikin kesal.”“Naura?” tebak dr. Salwa tanpa ragu.Dipta menoleh
Dewa menyetir dengan ekspresi masam, rahangnya mengeras. Ia tetap bersikukuh ingin menemui kakaknya. Ia harus memberi pelajaran padanya karena sudah lancang menyakiti istrinya. Andini duduk di sebelahnya, gelisah seperti cacing kepanasan. Sungguh, ia tidak mau mencari keributan. Sudah cukup ia berurusan dengan wanita menyebalkan itu. Mungkin Rania termasuk ke dalam salah satu list wanita yang dibencinya setelah Siska dan Amanda.“Mas Dewa, tolong… kita balik aja,” Andini akhirnya membuka suara.“Enggak.” Suaranya datar. “Dia udah keterlaluan. Nyiram kamu pakai kopi panas? Aku nggak akan diem.”Andini menghela napas, lalu memutar badan menghadapnya. “Aku udah cukup menderita, tolong jangan bikin tambah runyam.”“Justru itu, aku—”Mendadak mobil melambat. Lampu indikator bensin menyala merah.Dewa menatap panel, lalu mendesis, “Serius? Sekarang?”Andini memelototinya. “Loh, kamu lupa isi bensin?!”Dewa menepuk setir, tapi matanya melirik kanan-kiri mencari pom bensin terdekat.Akhirn
Mesin mobil meraung sedikit lebih keras dari biasanya. Dewa memegang setir dengan rahang mengeras, matanya fokus ke jalan.“Andini, siap-siap. Kita langsung ke rumah mbak Rania,” ucapnya singkat. Andini yang duduk di kursi penumpang melongo. “Lho… buat apa Mas?”Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya.“Buat apa? Buat minta penjelasan kenapa dia siram kamu pakai kopi panas!” Nada Dewa naik setengah oktaf. “Kalau dia pikir dia bisa seenaknya—”“STOP!” Andini tiba-tiba menepuk pahanya sendiri, panik. “Mas, jangan! Jangan ke sana!”Bukan ia tidak mau melawan. Posisinya sulit. “Kenapa?!” Dewa melirik sekilas, alisnya hampir bertaut jadi satu.Andini gelagapan. “Udah… udah cukup! Kalau aku ikut, nanti dia pikir aku ngadu! Aku ini udah dapat cap buruk di matanya dan di mata keluargamu. Tolong jangan persulit aku, Mas…”Dewa menghela napas berat, tapi tetap melaju. “Aku nggak peduli. Dia salah, dan dia harus—” Tiba-tiba, sebuah truk parkir miring di tepi jalan, membuat Dewa haru
Andini merasakan kepalanya panas, bukan hanya karena kopi. Sikap Rania sudah keterlaluan. Namun ia masih punya hati untuk tidak membalasnya. Oh, tidak, insiden barusan terjadi begitu cepat.“Argh, dasar Nenek lampir,” gerutu Andini merapikan kemeja yang meskipun sudah dibersihkan oleh gulungan tisu tetap terlihat basah dan kotor. Noda kopi hitam memang agak membandel.Rasanya ia ingin melempar sesuatu sebagai pelampiasan. Ia melihat cangkir kopi itu dan terbesit ingin melemparnya ke dinding. Sebelum fantasi liarnya terwujud, suara derit pintu terdengar.Siluet tampan dan bertubuh gagah muncul di ambang pintu. Kemarahan itu meluap terbawa udara. Senyuman orang yang jarang tersenyum itu maut. Senyum Dewandaru Hadinata bikin hati Andini meleleh.Andini mengangkat kepala, berusaha tersenyum tipis. “Rapatnya udah selesai, Mas Dewa?”Tatapannya sebentar menelusuri wajah pria itu, lalu buru-buru berpaling. Ia tidak ingin Dewa melihat matanya yang sembab. Lupa, jika Dewa itu orang yang telit
Dipta berdiri di dekat pintu, masih dengan jas dokter yang separuh terbuka, masker tergantung di leher. Ia berjalan mendekat tanpa banyak bicara, menaruh sebuah termos kecil di meja.“Apa itu?” tanya Naura pelan.“Sup ayam. Dari kantin.” Jawabannya singkat, tapi matanya memerhatikan wajah Naura lekat-lekat. “Makan nanti kalau sudah agak enakan.”Naura mengangguk pelan. “Harusnya nggak usah repot-repot, Dok.”Dipta menarik kursi, duduk di sisi ranjang. “Kamu pikir aku mau lihat kamu pucat kayak tadi lagi?” Nada suaranya tegas, tak seperti biasa.Kenapa ya? Apa karena kasihan dia sakit?Naura menggigit bibir, tidak tahu harus membalas apa.Dipta bersandar sedikit, pandangannya tak lepas dari wajahnya. “Besok kamu libur. Nggak ada diskusi. Nggak ada tugas.”“Tapi—”“Nggak ada tapi.” Tatapan itu mengunci miliknya. Lalu, nada suaranya merendah. “Kamu bikin aku khawatir, Naura.”Hening sejenak. Naura menelan saliva, detak jantungnya terasa lebih keras. “Saya… nggak bermaksud…”“Aku tahu. Ak
Pintu IGD terbuka, dan dari luar terlihat Dr. Gilang berdiri di ambang pintu, kedua tangannya menyilang di dada. “Dia pasienku juga, Dipta. Aku harus tahu kondisinya.” Suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca.Dipta menoleh sekilas, wajahnya tetap dingin. “Kamu bisa baca hasil lab nanti. Sekarang, keluar.” Nada tegas itu membuat perawat yang sedang mencatat data pasien menelan ludah gugup.Tunggu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ke dua dokter itu terlihat bersaing dalam menolong dokter KOAS yang pingsan itu. Bisik-bisik pun mulai menyebar seperti bola panas yang bergerak liar.Gilang menghela napas, mengendalikan emosinya, melangkah masuk beberapa langkah. “Aku cuma mau memastikan dia baik-baik saja. Nggak perlu segitunya.” Dipta berdiri di sisi ranjang, tubuhnya seperti dinding pelindung. “Aku bilang keluar, Gilang.” Tatapan mereka bertemu dengan sorot yang tajam, seolah saling menantang. Udara di ruangan itu terasa lebih padat dari biasanya. Naura