Pagi itu, Naura baru saja meletakkan map status pasien di meja ketika suara cekikikan terdengar dari pojok nurse station.“Eh, itu kan yang waktu itu diantar dr. Gilang pulang, ya?” bisik salah satu perawat sambil menatapnya.“Lah, iya. Katanya sih lagi… dekat,” sahut yang lain sambil senyum-senyum.“Tunggu, bukankah dr Gilang itu sudah married? Serius?” timpal yang lain semakin membuat suasana memanas padahal udara masih cerah dan segar.Naura pura-pura tidak mendengar. Ia tidak perlu menanggapi mereka. Toh, nyatanya ia tidak merasa seperti apa yang mereka katakan.Dia membalik halaman catatan, fokus pada data laboratorium pasien tifoid yang sedang ia follow-up. Tapi kupingnya makin panas lama kelamaan. Gunjingan itu terus menerus bertubi-tubi seperti sengaja memancing dirinya.Beberapa detik ingatan Naura terlintas pada chat grup. Sejak foto dirinya bersama dr. Gilang muncul di grup WhatsApp internal, foto yang entah diambil siapa, gosip itu tak berhenti. Captionnya, “Koas favoritny
Lounge Hotel – Sore HariDewa duduk santai di sofa kulit, jasnya terlipat rapi di sebelah. Di depannya, Arga baru saja menandatangani berkas kontrak kerjasama.“Lumayan juga proyeknya,” ujar Arga sambil menyeruput kopi hitamnya. “Eh… ngomong-ngomong, Andini nggak ikut?”Dewa yang sedang menuang teh berhenti sepersekian detik, lalu kembali menuang seolah tak terganggu. “Kenapa harus ikut?” suaranya datar, tapi matanya menatap Arga seperti baru saja memvonis pasien tanpa anestesi.Arga terkekeh. “Nggak, cuma nanya. Soalnya kemarin pas kita ketemu… tatapannya ke aku tuh—”“Berhenti di situ.” Dewa mengangkat tangan, nada suaranya tetap tenang tapi dingin. “Jangan terusin kalimat yang nggak perlu.”Arga mengangkat alis, seolah makin tertarik mengusik. “Wah, peka juga kamu, Pak Dewa. Padahal aku cuma mau bilang tatapannya… ramah.Dewa menyandarkan punggung ke sofa, menatap Arga lama. “Ramah, ya?” Bibirnya menegang, seperti sedang menghitung risiko investasi. “Kalau gitu, saya pastikan perte
Bab 149“M-mas, kenapa diam?”Setiba di apartemen, Andini mulai merasa risau. Dewa terlihat murung dan tak banyak bicara. Apa jangan-jangan ini karena pertemuannya dengan teman sekolahnya dulu.Andini menusuk-nusuk lengannya. Dewa sedang asik membaca buku di sofa dekat ranjang.“Apa?” Dewa menoleh karena merasa geli.“Kok cuek? Masih kepikiran si Kakak Kelas itu, ya?” Andini menatap dengan tatapan menyelidik.Dewa menghela napas, menutup bukunya. “Kamu itu… kalau nggak overthinking, nggak bisa hidup, ya?”Andini manyun. “Soalnya dari tadi diam. Bukan kayak Mas biasanya.”“Diam itu salah? Kalau aku banyak ngomong, nanti kamu bilang cerewet.”Andini mengempaskan tubuh ke sofa, membuat jarak mereka hanya sejengkal. “Tapi kalau diam gini… aku jadi mikir yang nggak-nggak.”Dewa memiringkan badan, menatap wajahnya lekat-lekat. “Kalau aku bilang… aku diam karena lagi nyusun kalimat supaya nggak nyakitin kamu, gimana?”Andini mengerutkan kening. “Nyakitin? Emang aku salah apa?”“Bukan kamu ya
Dipta baru saja memarkir mobilnya di garasi. Wajahnya tegang, langkahnya berat seperti habis menelan pil pahit. Begitu masuk ke ruang tamu, aroma teh melati hangat langsung menyambutnya.Di sofa, dr. Salwa, sang ibunda tercinta tengah duduk anggun dengan gamis warna pastel, kerudungnya rapi. Ia sedang membaca buku tafsir kecil sambil menunggu. Begitu melihat anaknya, senyum hangat terbit di wajahnya.“Pulangnya telat, Nak,” ucapnya lembut, menutup buku.Dipta hanya mengangguk, melepas jas dokternya, lalu duduk di kursi berseberangan. “Biasa, pasien.”Mata dr. Salwa menyipit sedikit, mengamati ekspresi anaknya. “Pasien… atau seseorang?”Dipta mengangkat alis. “Maksud Mami?”“Mami sudah cukup lama jadi dokter… dan cukup lama jadi ibumu.” Suaranya pelan tapi menusuk. “Wajah kamu itu kalau bete sama orang, kelihatan dari pintu gerbang.”Dipta menghela napas berat, bersandar ke kursi. “Bukan apa-apa, Mi. Cuma… ada orang yang bikin kesal.”“Naura?” tebak dr. Salwa tanpa ragu.Dipta menoleh
Dewa menyetir dengan ekspresi masam, rahangnya mengeras. Ia tetap bersikukuh ingin menemui kakaknya. Ia harus memberi pelajaran padanya karena sudah lancang menyakiti istrinya. Andini duduk di sebelahnya, gelisah seperti cacing kepanasan. Sungguh, ia tidak mau mencari keributan. Sudah cukup ia berurusan dengan wanita menyebalkan itu. Mungkin Rania termasuk ke dalam salah satu list wanita yang dibencinya setelah Siska dan Amanda.“Mas Dewa, tolong… kita balik aja,” Andini akhirnya membuka suara.“Enggak.” Suaranya datar. “Dia udah keterlaluan. Nyiram kamu pakai kopi panas? Aku nggak akan diem.”Andini menghela napas, lalu memutar badan menghadapnya. “Aku udah cukup menderita, tolong jangan bikin tambah runyam.”“Justru itu, aku—”Mendadak mobil melambat. Lampu indikator bensin menyala merah.Dewa menatap panel, lalu mendesis, “Serius? Sekarang?”Andini memelototinya. “Loh, kamu lupa isi bensin?!”Dewa menepuk setir, tapi matanya melirik kanan-kiri mencari pom bensin terdekat.Akhirn
Mesin mobil meraung sedikit lebih keras dari biasanya. Dewa memegang setir dengan rahang mengeras, matanya fokus ke jalan.“Andini, siap-siap. Kita langsung ke rumah mbak Rania,” ucapnya singkat. Andini yang duduk di kursi penumpang melongo. “Lho… buat apa Mas?”Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya.“Buat apa? Buat minta penjelasan kenapa dia siram kamu pakai kopi panas!” Nada Dewa naik setengah oktaf. “Kalau dia pikir dia bisa seenaknya—”“STOP!” Andini tiba-tiba menepuk pahanya sendiri, panik. “Mas, jangan! Jangan ke sana!”Bukan ia tidak mau melawan. Posisinya sulit. “Kenapa?!” Dewa melirik sekilas, alisnya hampir bertaut jadi satu.Andini gelagapan. “Udah… udah cukup! Kalau aku ikut, nanti dia pikir aku ngadu! Aku ini udah dapat cap buruk di matanya dan di mata keluargamu. Tolong jangan persulit aku, Mas…”Dewa menghela napas berat, tapi tetap melaju. “Aku nggak peduli. Dia salah, dan dia harus—” Tiba-tiba, sebuah truk parkir miring di tepi jalan, membuat Dewa haru