Di tengah euforia, aku masih setengah memiliki kesadaran bahwa saat ini kami tidak lah di kamar tidur, melainkan ruang kantor Rigen. Meski lemah, aku menggeleng. "Rigen, tidak, tidak hari ini." Seperti biasa, belaian lembutnya terasa nikmat, tetapi tidak hari ini. Setidaknya tidak di sini. Tubuh dan pikiranku terbakar, dan aku tidak memiliki kesabaran untuk menikmatinya dengan santai. "Sayang, jangan khawatir. Di sini aman," bisik Rigen seraya menciumi leherku. "Rileks, Sayang. Rileks." Rigen terus membujuk dan stimulusnya berhasil. Aku mencengkeram kejantanan Rigen untuk mendesaknya memasukinya. "H-hah, h-hah, baiklah, Rigen. Ayo, ayo," desakku tak sabar. Penis Rigen masih di genggamanku, ujung panasnya basah seperti milikku, kulihat, Rigen pun tak lagi bisa tenang. "Oke, Istriku." Meski gembira, tampaknya Rigen cukup ragu untuk masuk ke ruang sempit yang sedari tadi hanya disediakan oleh dua jarinya. Setidaknya, dia tidak diajarkan untuk memperlakukan wanitanya se
Last Updated : 2025-06-28 Read more