Galan duduk sendirian di kursi direkturnya yang menghadap ke jendela besar. Dari ketinggian itu, Jakarta membentang luas seperti labirin beton yang tak berujung—datar, dingin, dan sunyi. Dulu, pemandangan ini membuatnya merasa berjaya, seolah seluruh kota tunduk pada ambisinya. Kini, yang terasa hanyalah kehampaan. Kantor yang dulu riuh dengan rapat dan tawa kemenangan kini seperti museum bisu, menyimpan sisa-sisa masa lalu yang enggan pergi.Ia memutar kursinya perlahan, menatap ruang kerja yang pernah menjadi simbol kesuksesannya. Meja mahoni besar, lukisan mahal, lemari penuh dokumen kontrak—semuanya tampak asing. Seperti dia hanya tamu di tempat yang dulunya miliknya sendiri."Pak Galan?" Suara Sari, sekretarisnya, memecah keheningan."Ada apa?""Ada beberapa dokumen untuk ditandatangani. Penundaan pembayaran supplier dan pemberitahuan ke investor... soal situasi kita saat ini."Kata-kata itu, meski terdengar sopan, terasa seperti cambukan. Galan menerima dokumen itu dengan tangan
Huling Na-update : 2025-07-07 Magbasa pa