Dua minggu setelah insiden di rumah sakit, Nayla berdiri di depan cermin kamarnya. Tangannya menyentuh lembut perban tipis di bahu—bekas luka yang masih dalam masa pemulihan. Malam ini bukan malam biasa. Untuk pertama kalinya, ia akan memperkenalkan seorang pria kepada keluarganya—bukan sebagai kolega, bukan sekadar teman, tapi sebagai seseorang yang benar-benar istimewa.“Kamu deg-degan?” tanya Arvino dari belakang, sambil merapikan dasinya.“Deg-degan? Aku malah ketakutan,” jawab Nayla jujur. “Papa itu... nggak pernah gampang dengan siapa pun yang aku bawa pulang. Terakhir kali aku kenalin seseorang ke keluarga... hasilnya buruk.”Arvino mendekat, meletakkan tangannya di bahu Nayla yang sehat. “Hey, lihat aku.”Nayla menoleh. Tatapan Arvino tenang, penuh keyakinan.“Kita sudah melewati tembakan, pengejaran, dan konspirasi internasional. Aku rasa makan malam dengan keluarga Mahardika nggak akan lebih menakutkan dari itu.”Nayla tersenyum kecil, meski rasa tegang belum hilang. “Itu ka
Last Updated : 2025-09-10 Read more