Lahat ng Kabanata ng Dokter Ajaib Dari Dunia Paralel: Kabanata 681 - Kabanata 690

Ballroom masih dalam keadaan kacau balau. Sebagian besar tamu sudah melarikan diri dengan panik, hanya tersisa beberapa orang yang masih bersembunyi di balik meja atau di sudut ruangan, gemetar ketakutan. Meja-meja terbalik, hidangan berserakan, dan pecahan kaca berkilauan di lantai.Artem Volkov dan Kian Atmono masih berdiri di dekat panggung, menatap Peter dan Amber dengan wajah sangat terkejut, ekspresi mereka membeku. "Mustahil," bisik Volkov dengan suara sangat pelan, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, matanya membelalak."Dia keluar dari dimensi itu. APEX FIVE gagal, benar-benar gagal."Kian Atmono mundur beberapa langkah dengan wajah sangat pucat, tangannya gemetar hebat, seolah baru melihat hantu. "Bagaimana dia bisa," gumamnya dengan suara bergetar, "Bagaimana dia bisa mengalahkan lima Hunter Level S sekaligus? Itu tidak masuk akal."Peter berdiri dengan postur sangat tenang, matanya menatap Kian Atmono dengan tatapan sangat dingin, sangat berbahaya, seolah menembus ji

Peter membersihkan luka itu dengan kain steril, lalu mengoleskan salep herbal yang ia racik sendiri. Tangannya bergerak cepat tapi lembut. Tidak ada gerakan sia-sia."Jangan sampai kena air selama dua hari," ujar Peter sambil menutup luka dengan perban. "Kalau mulai bengkak atau nyeri, langsung ke sini lagi."Pria itu mengangguk patuh. "Baik, Dok. Terima kasih banyak."Satu per satu pasien datang dan pergi. Tidak ada kasus berat. Tidak ada drama. Hanya konsultasi sederhana, sentuhan tangan yang menenangkan, dan kata-kata lembut yang membuat pasien merasa didengarkan.Pak Wong berdiri di ambang pintu, mengamati Peter bekerja. Wajahnya penuh kekaguman, tapi tidak berlebihan. Hanya pandangan seorang senior yang bangga melihat juniornya tumbuh."Kamu semakin tenang, Dokter," kata Pak Wong saat Peter selesai dengan pasien terakhir siang itu. "Dulu kamu kadang masih terlihat terburu-buru. Sekarang… setiap gerakanmu sangat yakin."Peter menutup buku catatan pasiennya. "Pengalaman, Pak. Banya

Pagi hari di Kota Wada terasa berbeda dari Kota Teratai. Tidak ada hiruk pikuk lalu lintas yang memekakkan telinga. Tidak ada asap kendaraan yang memenuhi udara. Jalan-jalan di sini lebih rapi, trotoar lebih bersih, dan gedung-gedung tidak menjulang terlalu tinggi hingga menutupi langit.Peter Davis duduk di kursi pengemudi sedan hitam milik Sandra Steel, tangannya memegang setir dengan santai. Di sampingnya, Sandra menatap keluar jendela dengan ekspresi tenang, meski ada sedikit ketegangan di bahu dan lehernya yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya."Kamu yakin harus ke rumah sakit?" tanya Sandra sambil melirik Peter. Suaranya ringan, berusaha terdengar biasa saja. "Aku merasa baik-baik saja hari ini."Peter tidak langsung menjawab. Ia memutar kemudi dengan lembut saat melewati tikungan. Matanya tetap fokus di jalan, tapi pikirannya sudah bekerja sejak tadi malam."Kamu merasa baik-baik saja," kata Peter akhirnya, nadanya tenang tapi tegas, "karena tubuhmu sudah terbiasa dengan ra

Dua jam kemudian, Peter masih duduk di kursi tunggu dengan postur yang sama tenangnya. Ia tidak membuka ponsel. Tidak membaca majalah yang tersedia di meja. Hanya duduk dengan mata tertutup, seolah sedang bermeditasi.Langkah kaki cepat mendekat dari koridor. Vincent Chen muncul dengan wajah yang jauh lebih serius dari sebelumnya. Di tangannya, ia membawa beberapa lembar hasil pemeriksaan dan sebuah tablet yang menampilkan gambar medis.Ia berhenti di depan Peter, tidak duduk, hanya berdiri dengan postur kaku. "Ikut saya," katanya dengan nada yang terdengar seperti perintah, tapi ada sedikit goyah di baliknya.Peter membuka mata, berdiri tanpa terburu-buru, lalu mengikuti Vincent menuju ruang konferensi medis di ujung koridor. Ruangan itu lebih besar dari ruang praktik, dengan meja panjang di tengah dan layar proyektor besar di dinding.Sandra sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi masih berusaha tenang. Di sampingnya, seorang suster berdiri dengan clipboard, mencatat sesuatu.Vince

Ruang konsultasi pra-operasi terasa lebih dingin dari sebelumnya. Lampu neon di langit-langit menyinari meja panjang di tengah ruangan, tempat dokumen persetujuan operasi terbentang rapi. Aroma antiseptik bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara.Dr. Vincent Chen berdiri di samping meja dengan clipboard di tangan kanannya. Wajahnya terlihat profesional, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Sandra Steel duduk di kursi pasien, tangannya terlipat rapi di pangkuan. Ekspresinya tenang, tapi ada kelelahan tipis di matanya. Di sampingnya, Peter Davis berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun.Dr. Leonard Hartono duduk di ujung meja, mengamati situasi dengan ekspresi serius. Ia tidak bicara, hanya menunggu prosedur berjalan.Vincent membuka clipboard, membaca dokumen dengan suara yang terdengar formal. Terlalu formal. "Nona Steel," katanya sambil mengangkat waja