All Chapters of Suami yang Kukira Miskin Ternyata Pewaris Rahasia: Chapter 11 - Chapter 20

Sementara itu, di mansion Mahendra, suasana makan malam terasa hangat dengan aroma masakan yang menggugah selera. Dion duduk di meja makan bersama papa dan mamanya. Mereka saling berbincang dan tertawa, mencoba mengisi kesunyian yang sempat mengganggu selama dua tahun terakhir.Tiba-tiba, di tengah makan, Elmer menatap Dion dengan serius. "Dion, aku ingin membahas sesuatu yang penting," katanya, membuat Dion berhenti mengunyah dan memperhatikan papanya."Ya, Pa. Ada apa?" tanya Dion, rasa ingin tahunya meningkat.Elmer menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Papa dan Mama berencana untuk menjodohkanmu dengan Clara, anak salah satu kolega kita dan juga sahabat baik kami. Dia sangat baik dan cocok untukmu."Dion menatap papanya dengan alis terangkat, terkejut dengan pernyataan tersebut. "Papa, aku ... aku belum siap untuk membuka hati lagi," jawabnya dengan tegas, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya berontak.Indira, yang duduk di sebelah Elmer, menatap D

Keesokan paginya, Rania berdiri di dapur dengan perasaan campur aduk. Dia tahu Yoga bukan tipe pria yang mau membuang waktu untuk wanita yang tidak memberinya kenyamanan dan kemudahan. Selama ini, Yoga seolah senang berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, tetapi kenyataannya berbeda."Aku harus melakukan sesuatu," gumam Rania sambil membuka kulkas. "Aku harus bisa menunjukkan kalau aku istri yang layak, setidaknya biar dia nggak berpaling lagi."Telur dan beberapa bumbu sederhana sudah tersusun di atas meja dapur. Rania mulai menggoreng telur ceplok dengan sedikit terburu-buru. Sesekali, ia mengintip ke arah pintu dapur, khawatir kalau Yoga muncul dan mengkritik apa yang sedang dilakukannya.Ketika telur mulai matang, Rania menambahkan sedikit garam, tetapi tangannya agak gemetar dan tanpa sengaja membuat bumbu terlalu banyak tumpah. Ia baru sadar setelah mencicipinya.“Ah, keasinan,” gumamnya, bingung. “Tapi ... mungkin dia nggak akan

Rania masih berdiri di ambang pintu lobi, memandang punggung Dion yang semakin menjauh. Seluruh tubuhnya terasa lemas, seolah-olah dipaku di tempat. Nalurinya ingin berlari mengejar, ingin meminta kesempatan kedua, mengembalikan semua yang dulu telah ia hancurkan demi Yoga, tapi bayangan masa lalunya, momen saat ia memilih pria lain dan mengabaikan Dion kembali menghantui benaknya. Wajar jika kini Dion penuh amarah. Pria itu telah ia tinggalkan dengan luka yang begitu dalam.Namun, hasrat untuk memperbaiki semuanya terasa semakin mendesak. Tepat saat Rania hendak melangkahkan kaki, berusaha mengejar Dion yang tengah berdiri di samping mobil sport hitamnya, sebuah mobil lain berhenti di sampingnya. Sebuah mobil mewah berwarna putih, Bentley Continental GT yang berkilauan di bawah sinar matahari, membuat hati Rania berdesir aneh dan penasaran.Pintu mobil terbuka, dan seorang wanita cantik melangkah keluar. Dalam balutan dress elegan ber

Malam harinya, rumah terasa sepi. Rania duduk di ruang tamu, menatap televisi tanpa benar-benar melihat apa yang sedang diputar. Hatinya terasa hampa, tapi entah kenapa ada rasa lega yang mengalir dalam dirinya. Yoga belum pulang. Tidak ada suara keributan dari dirinya, tidak ada komentar tajam tentang makanan atau kebiasaannya yang dianggap tidak berguna. Hanya kesunyian yang memenuhi ruangan.Rania menghela napas panjang dan menoleh ke dapur. Panci kosong dan meja makan yang sepi mengingatkan pada malam-malam sebelumnya yang penuh tekanan. Dia menyandarkan punggung ke kursi dan tersenyum samar. Tanpa Yoga, tanpa harus memikirkan makanan atau menunggu reaksi dari suami yang seringkali hanya memberikan kritikan, rasanya lebih ringan. Seolah dunia ini miliknya sendiri untuk sementara waktu."Kenapa harus mikirin dia?" gumam Rania pada dirinya sendiri, matanya terpejam sejenak. "Aku nggak perlu lagi jadi pengurus rumah tangga yang sempurna buat di

Sementara itu, Clara terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tapi pikirannya tidak tenang. Ia merasa canggung, tak nyaman dengan kehadiran Dion yang begitu peduli. Kamar rumah sakit yang steril dan dingin membuatnya semakin merasa terasing.Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Dion muncul dengan membawa secangkir kopi dan sebotol air. Ia mendekat dan meletakkan kedua benda itu di meja samping tempat tidur Clara.“Kopi hangat. Mungkin bisa membuatmu sedikit lebih nyaman,” kata Dion sambil duduk di kursi sebelah ranjang Clara.Clara membuka mata, tersenyum lemah. “Kamu baik sekali, Dion. Tapi aku nggak tahu harus bilang apa.”“Jangan bilang apa-apa,” jawab Dion dengan suara tenang. “Yang penting sekarang adalah kamu cepat pulih.”Clara terdiam, menatap Dion dengan pandangan yang campur aduk. Ada rasa terima kasih, ada rasa canggung, dan juga perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tidak bisa memahami kenapa Dion begitu peduli. M