Lahat ng Kabanata ng Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam: Kabanata 11 - Kabanata 20

Ruangan itu dingin. Bukan karena suhu udara, tapi karena energi yang memenuhi setiap sudutnya. Dinding beton, lampu kuning temaram yang menggantung tanpa hiasan, dan bau logam tua yang seolah menetap di sela-sela napas. Seorang laki-laki berdiri membelakangi pintu, tangannya bertumpu di atas meja besi yang dipenuhi berkas-berkas kusut dan secarik foto anak kecil—terselip di antaranya gambar anak laki-laki dengan jaket biru, ransel biru, dan tatapan polos yang tajam. Suaranya pelan. Tapi justru karena itulah, setiap katanya terasa seperti cambuk. “Kau menculik anak. Di kebun binatang. Siang hari.” Tak ada yang menjawab. “Dengan orang-orang. Kamera. Anak-anak. Dan... ibunya.” Ia berbalik perlahan. Wajahnya tak berteriak. Tapi matanya berbicara tentang badai. Roy duduk di kursi dengan kepala tertunduk, pipi bengkak, bibir pecah. Dua orang lainny

Pukul empat sore. Langit mulai berubah warna, memudar dari biru cerah menjadi oranye lembut yang menggantung di ujung-ujung awan. Hazel berdiri di sisi trotoar dengan jaket krem panjangnya, matanya menyusuri barisan anak-anak yang mulai dijemput satu per satu. Di sebelahnya, Zoe berdiri mengenakan sweater hitam sederhana, tangannya dimasukkan ke dalam saku.Begitu Arrow melihat mereka, wajah kecil itu langsung berseri. “Ibu!” serunya sambil berlari. Senyum sempurna menghiasi wajahnya. Hazel membuka lengan, menyambut pelukan hangat itu. “Hai, Sayang. Bagaimana harimu? Apakah menyenangkan?”Arrow mengangguk cepat, "tentu, Bu." Lalu menoleh ke Zoe. “Kamu ikut juga?”Zoe menunduk sedikit, tersenyum seraya mengangguk. “Boleh?”Arrow jelas tidak keberatan, ia penuh semangat. “Ibu, Zoe suka stroberi? Aku punya biskuit rasa stroberi di rumah.”"Kurasa—" Melirik kearah pria jangkung dengan gigi pitih berseri dan tahi lalat di pelipis kir

Ruangan gelap, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung bergaya antik. Di dindingnya, peta dunia tergantung, penuh dengan pin merah di berbagai negara. Di ujung ruangan, berdiri Luca, sosok jangkung dengan jas gelap, bahunya kokoh, dan rahangnya mengeras oleh amarah yang ditahan setelah mendapatkan bisikan maut dari perempuan satu-satunya yang dia percaya. “Kau yakin?” Suaranya terdengar berat. Dia menoleh pada Shofia, berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.Shofia mengangguk. “Mereka berhasil menggagalkan penyelundupan terakhir. Migel yang pimpin penggerebekan. Sialnya, mereka temukan satu kontainer penuh senjata api yang akan kita kirim ke L.A”Luca membanting gelas kristalnya ke lantai. Bunyi pecahan memantul di ruangan hening.“Cukup sudah,” katanya dingin. “Bunuh dia hari ini. Migel harus lenyap!" Penekanan yang jelas menunjukkan murka. Tak lama, seorang pria bertato ular di leher tepat ujung ekor berbentuk bintang

Diam. Tak ada suara selain detik jarum jam yang terdengar seperti ledakan di telinga Diego. Pria bertato ular itu berdiri kaku, menunduk, seolah ponsel yang baru saja dia matikan adalah senjata yang meledakkan seluruh fondasi hidupnya.Luca menatap tajam ke arahnya. “Kau diam terlalu lama,” katanya pelan, tapi tekanan dalam suaranya menggerus udara.Namun, matanya tetap terkunci pada foto yang disodorkan Diego sebelumnya. Ada sesuatu yang mencengkeram dalam dadanya. Sebuah gambar terlintas di kepalanya—mata bulat kecil, suara serak yang pernah memanggilnya di sebuah ruang cuci tangan di pusat perbelanjaan. Suara yang entah kenapa masih menghantuinya sampai sekarang."Kau tidak mengenalnya! Berhenti menjadi pecundang!" batinnya. Menyeret kesadaran bahwa semua orang, semua anak di sana bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa. Diego menelan ludah. Matanya melirik cepat ke arah Shofia, lalu kembali menunduk. “Saya... saya baru saja dapat kabar dari an

Langit sore menurunkan cahaya jingga di atas atap-atap kota. Mobil yang membawa Zoe dan Hazel berhenti pelan di depan rumah perempuan setinggi 5,25 kaki. Bayangan rumah dan pepohonan memanjang di trotoar, seolah ikut merunduk bersama beban hari ini. Tak ada percakapan di sepanjang jalan tadi—hanya keheningan yang diisi dengan denting pelan lagu instrumental dari radio yang tak sengaja menyala.Hazel turun dengan langkah lemah. Pipinya masih memerah, dan matanya sembab. Zoe ikut turun, membuka pintu pagar kecil dengan hati-hati, seolah takut bunyi engsel tua itu mengganggu kesunyian yang tengah menyelimuti Hazel. Kemudian mengikuti hingga halaman rumah. “Aku tunggu kamu masuk,” ucap Zoe lembut.Langkah Hazel berat menaiki anak tangga ke teras. Sesekali ia terhuyung karena tubuhnya sudah terlalu letih—bukan hanya oleh fisik, tapi oleh trauma yang kembali membekas. Zoe menyusul di belakang, tak berkata apa pun, hanya menjaga jarak, berjaga bila Hazel tiba-ti