Semua Bab Perjanjian Panas dengan Kakak Muridku: Bab 41 - Bab 50

“Kita memang akrab.” Arsen mengangguk. Pak Rudy tersenyum. “Benar, Bu Yerin memang ceria dan gampang akrab dengan orang lain.” “Tapi pak—” Pak Rudy menatap Arsen dengan serius. Yerin yang seolah berada di tengah-tengah mereka merasakan tatapan mereka itu sedang tidak kondusif. Entah kenapa mata mereka itu memancarkan aura permusuhan. “Saya hanya memberitahu lebih awal. Bu Yerin sudah bertunangan dengan kekasihnya.” Arsen mengerjap. “Memangnya kenapa kalau sudah bertunangan? Belum menikah kan? Yang menikah saja bisa bercerai, pak!” Yerin melotot pada Arsen. Bisa-bisanya pria itu menjawab. “Tunggu!” Yerin menenangahi keduanya. “Pak Rudy salah paham. Hubungan kami hanya sebatas teman. Kami berteman karena kami sering bertemu karena Bastian. Jadi—” Yerin tersenyum. “Tidak ada hubungan seperti itu.” “Lebih baik kita menonton anak-anak saja!” Yerin terkekeh canggung. “Huuu!” Yerin bersorak. “Semangat anak-anak!” teriak Yerin. Arsen berdecih pelan. Kemudian bersandar.

“Aku rasa hubunganmu dengan Kak Arsen benar-benar membaik.” Willie berkata pada Bastian. Mereka baru saja mandi dan berganti baju di ruang ganti. Bastian meloloskan kaos di tubuhnya. “Tidak!” balasnya. Willie bersindekap dengan bahu yang bersandar pada loker. “Kak Arsen datang ke pertandinganmu, dia juga membelikan kita makan….” “Aku rasa dia mungkin berubah,” lanjutnya. “Apa mungkin efek istrinya?” tanyanya. Willie bersandar sepenuhnya pada loker. “Aku jadi semakin penasaran dengan istri kak Arsen….” Rengeknya. “Pasti sangat cantik.” Willie mengangguk pelan. “Pasti. Selera kak Arsen pasti sangatlah bagus.” Bastian menoleh. “Jika kau ingin melihat istrinya, datanglah ke rumahku.” “Kau gila?” tanya Willie. “Aku tidak berani.” Willie adalah satu-satunya teman yang dimiliki oleh Bastian. Dulu Willie pernah datang ke rumah Bastian saat Bastian tidak masuk ke sekolah. Waktu itu mereka masih SMP. Karena khawatir ia nekad datang ke rumah Bastian meski dilarang sahabat

Yerin menyeret Arsen untuk membuka pintu kamar. Tapi mereka mengernyit saat di depan pintu tidak ada satu orang pun. “Apa-apaan…” lirih Arsen. “Kau takut?” tanya Yerin. Arsen menggeleng. “Mana ada?” tapi tubuhnya yang besar itu diam-diam berjalan ke belakang Yerin. Tangannya tidak lupa memeluk bahu Yerin. “Tidak ada hantu…” Yerin tertawa pelan. “Memang.” Arsen melotot. “Tidak ada hantu dijaman sekarang.” Kenapa tidak ada orang. Mereka mendengar dengan jelas ketukan di pintu. Arsen yang menggebu-gebu kini menjadi ciut berada di belakang Yerin. “Yasudahlah..” Yerin berbalik. “Mungkin…” lirihnya. “Mungkin apa?” Arsen melotot. Yerin tertawa pelan. “Tubuhmu saja yang besar. Nyalimu..” memberikan jempol terbaliknya pada Arsen. “WOOHH!” Arsen hampir saja terjengkal karena laki-laki yang menggunakan kaos putih berada di depannya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Arsen. “Kau yang mengetuk?” Bastian mengangguk pelan. “Kenapa kau bersembunyi? Kau berencana menjahili

Yerin tidak menghiraukan Arsen. Ia mengangkat panggilan dari pak Rudy. [Bu Yerin aku sudah mendapatkan alamat Aurel. Tapi aku tidak bisa ke sana. jadi mungkin bu Yerin bisa ke sana dan memeriksa keadaan Aurel.] [Baik pak. Aku akan ke sana] Yerin mematikan panggilan itu. “Aku akan pergi sebentar.” “Siapa yang memperbolehkanmu keluar saat matahari sudah terbenam?” tanya Arsen dengan wajahnya yang garang. Arsen mengantar Yerin untuk pergi ke rumah siswi. Yerin menatap sekitar dengan cemas. “Apakah mungkin ini tempat tinggal Aurel?” lirihnya. Kawasan tempat tinggal yang kumuh. Bukan apartemen melainkan rumah susun. “Jika melihat dari alamat yang dikirimkan Rudy itu, ini sudah benar.” Arsen mengemudikan mobilnya untuk masuk ke area parkir rusun. “Dari biodata terakhir. Orang tuanya punya perusahaan tekstil.” Yerin melepaskan sabu pangamannya. “Apa mungkin…” “Kemungkinannya bangkrut,” balas Arsen. Mereka keluar dari mobil dan mengamati rusun yang begitu tinggi itu.

“Sudah?” tanya Arsen menguap. Sedari tadi ia menunggu Yerin di luar ruangan. Yerin menghampiri Arsen dengan lesu. Mengambil duduk di samping Arsen. “Dia tidur,” balas Yerin. Kemudian menoleh. “Aku lapar.” Yerin benar-benar lapar. Namun Yerin ingin makan di dekat rumah sakit saja. Alhasil mereka makan di sebuah minimarket. Mie cup, nasi instan dan roti. Beberapa snack dan juga minuman. “Kau akan kembali ke sana?” tanya Arsen. “Entahlah.” Yerin mengedikkan bahu. “Aku takut dia berbuat nekat. Aku melihat banyak bekas luka di pergelangan tangannya. Aku takut saat dia sendirian dia bisa menyakiti dirinya sendiri.” “Tidak perlu kembali ke sana.” Arsen membuka tutup botol minuman untuk Yerin. “Aku sudah meminta perawat untuk mengawasinya.” “Sungguh?” Yerin meminumnya. Sedangkan Arsen sibuk membuka tutup mie dan nasi instan itu. Disodorkannya pada Yerin. “Oh iya juga. Rumah sakit itu di bawah perusahaanmu,” ucap Yerin. “Bagaimanapun aku sangat berterima kasih