All Chapters of Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh : Chapter 51 - Chapter 60

Pagi itu, langit Kota Samara diselimuti awan kelabu. Rumah Sakit Medical tampak seperti biasa. Yaitu ramai, sibuk, dan penuh dengan langkah kaki para tenaga medis. Namun, ada satu ruangan di lantai tertinggi yang sedang menjadi tempat pembicaraan penting. Elvario, si dokter muda jenius yang belum lama ini pulih dari luka berat, duduk berhadapan langsung dengan Tuan Sujana di ruang kerja pribadi direktur rumah sakit itu. Di atas meja, sebuah undangan elegan tergeletak. Lambang organisasi AORTA tercetak mengilap di atas kertas hitam dengan huruf emas: Allied Organization for Revolutionary Treatment Advancement. “Ini undangan untukmu, El,” ucap Tuan Sujana sambil mendorong surat itu ke arah El. “Kau dipilih mewakili negara kita dalam kompetisi medis internasional AORTA. Mereka menghubungi langsung ke meja direksi kemarin sore.” El memandang surat itu tanpa menjulurkan tangan. Matanya membaca nama-nama peserta dari berbagai negara, nama-nama besar dari universitas dan rumah sakit

Langit Pulau Avicenna telah memucat saat kendaraan-kendaraan off-road bergerak perlahan dari base camp menuju utara pulau, lokasi simulasi tantangan pertama yang disebut sebagai zona pasca-blackout. Di dalam salah satu kendaraan, Elvario duduk bersama keempat rekan satu timnya, yaitu Sanae Koizumi, Rafael Montes, Leila Abadi, dan Nikolai Vronsky. Mobil berguncang saat melewati jalur berbatu. Di luar jendela, pepohonan tropis bergoyang tertiup angin laut. Sinar matahari yang menembus celah dedaunan memperlihatkan bagian pulau yang masih terlihat alami, namun perlahan berubah drastis saat mereka mulai mendekati perbatasan zona blackout. Bangunan-bangunan kosong berdiri di kejauhan seperti sisa reruntuhan kota. Tiang listrik tumbang, kendaraan rusak berserakan, dan suara sirene pelan terdengar dari kejauhan. Semuanya bagian dari simulasi. Kamera drone terbang rendah, merekam perjalanan mereka. Mobil berhenti di depan pos perbatasan. Sebuah tenda besar dengan penjaga berseragam hita

Suara langkah kaki menggema di lorong logam ketika pintu besar Zona Medis terbuka perlahan. Kabut tipis menyelimuti lantai, membuat suasana semakin sunyi dan mencekam. Elvario berdiri paling depan, matanya menatap lurus ke dalam, di tetap tenang, tapi siaga. “Ini seperti rumah sakit... tapi juga seperti penjara,” gumam Nikolai Vronsky dengan suara rendah, matanya menyisir dinding logam yang dipenuhi alat pemantau vital otomatis. Rafael Montes tertawa kecil, meski nada suaranya menyiratkan ketegangan. “Apa pun tempat ini, baunya seperti ruang bedah.” “Zona Medis. Tempat kita diuji bukan cuma sebagai ilmuwan, tapi juga sebagai penyelamat nyawa,” kata El dengan nada tegas. Ia berbalik dan menatap anggota timnya: Rafael dari Brasil, Sanae Koizumi dari Jepang, Leila Abadi dari Iran, dan Nikolai dari Rusia. “Fokus. Satu kesalahan bisa berarti kegagalan total.” Seketika, suara elektronik menggema dari speaker di atas mereka. "Tantangan dimulai. Krisis darurat: tiga pasien dalam k

Pagi itu, langit Pulau Avicenna bersih seperti lembaran baru. Angin laut bertiup lembut melewati kaca-kaca besar gedung utama pusat riset. Burung-burung eksotis berkicau pelan dari kejauhan, seakan ikut berbahagia karena hari terakhir dari tantangan zona medis yang melelahkan sudah usai. Di sebuah kamar tim yang berisikan lima orang itu, El berdiri di depan jendela. Matanya menerawang ke kejauhan, memandangi lautan yang berkilau di kejauhan. Di belakangnya, suara pintu terbuka ketika Rafael masuk, lalu duduk di kursi sofa sambil menguap lebar. “Udah jam berapa?” gumam Rafael, mengucek mata. “Sudah pukul tujuh lewat lima belas,” jawab El, tanpa menoleh. “Kita dikumpulkan di aula pukul delapan.” Rafael mengangguk pelan, kemudian bangkit dari sofa. Tak lama, satu per satu anggota kelompok mereka muncul dari luar—Sanae, Leila, dan Nikolai. Tak satu pun dari mereka berbicara banyak pagi itu. Wajah-wajah mereka lelah, tapi tenang. Hari berat penuh tantangan yang sudah mereka lew

Langit sore di atas kompleks pelatihan AORTA berubah warna menjadi jingga keemasan, seolah ikut merayakan berakhirnya babak tersulit yang baru saja dilalui. Zona darurat. Sebuah fase intens yang menguji batas kemampuan, mental, dan hati nurani seluruh peserta. El berjalan perlahan di koridor utama menuju kamarnya. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena cedera, melainkan karena kelelahan yang tak terucapkan. Hatinya masih terbayang pada simulasi yang begitu realistis: darah, tangisan, bau terbakar, suara sirene, dan semuanya masih terngiang olehnya, seolah itu benar-benar terjadi. Saat pintu otomatis kamarnya terbuka, aroma ruangan steril yang tenang langsung menyambutnya. Ruangan itu jauh lebih mewah dibanding kamar para peserta lainnya, hasil dari kemenangan kelompok El di zona medis sebelumnya. Tempat tidur berlapis linen bersih, sofa empuk, jendela besar yang menghadap danau buatan, dan peralatan medis canggih yang bisa dipakai untuk berlatih—semuanya diberikan sebagai pen