All Chapters of Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh : Chapter 41 - Chapter 50

Lampu sorot ruang operasi menyorot tajam tubuh remaja perempuan yang terbujur di atas meja bedah. Kulitnya masih pucat, dada kirinya terbuka dengan luka tusuk yang menganga, dijaga tetap steril oleh tirai biru dan perban medis. Mesin-mesin di sekitarnya berdenting pelan, menunjukkan denyut nadi, saturasi oksigen, dan tekanan darah yang cukup stabil. Dokter Dimas, mengenakan jas operasi dan sarung tangan steril, berdiri di sisi kiri pasien dengan wajah serius. Pisau bedah telah membelah dinding toraks, dan kini paru-paru kiri gadis itu tampak sebagian kolaps dan tertutup darah kental yang mulai menggumpal. Tim bedah bergerak sigap sesuai instruksinya. Suhu ruangan dingin, tapi dahi Dimas telah dipenuhi keringat. “Klem, cepat! Aku butuh visibilitas di pleura parietal! Jangan biarkan darah menutupi pandangan!” serunya. Namun baru beberapa detik setelah dia mulai memasuki rongga dada lebih dalam, monitor jantung mulai berbunyi nyaring. “VTACH! Ventrikular takikardia!” teriak sal

Malam turun dengan tenang, tapi tidak dengan pikiran Elvario. Ia baru saja pulang dari rumah sakit, membawa tas selempang berisi berkas-berkas penting. Langkahnya terasa berat, tapi hatinya penuh dengan tekad. Di dalam tas itu, tersimpan potongan kebenaran yang selama ini tersembunyi—dan sudah saatnya dunia tahu.Begitu tiba di rumahnya, El langsung menuju meja kerja. Ia menyalakan lampu meja, membuka laptop, dan meletakkan map cokelat dari Rian di atas meja. Jemarinya berhenti sejenak sebelum membuka lembar demi lembar bukti yang telah dikumpulkan.Foto-foto. Rekaman suara. Dokumen keuangan. Transkrip email. Semua tersusun rapi. Semuanya membongkar sebuah konspirasi besar yang terjadi di balik layar klinik ayahnya beberapa tahun lalu—konspirasi yang menghancurkan reputasi keluarga mereka.Semua ini bukan hasil kerja semalam. Rian—sahabat lama El yang kini bekerja sebagai detektif swasta—sudah mengerjakannya selama hampir dua bulan secara diam-diam. Dan akhirnya, hari ini, ia menyera

Pagi itu, langit kota Samara tampak cerah. Sinar matahari menerobos jendela-jendela kaca besar di Rumah Sakit Samara, menciptakan pantulan hangat di lantai marmer koridornya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Satu notifikasi di ponsel seorang perawat, lalu disusul gumaman rendah di ruang istirahat dokter, dan dalam waktu kurang dari satu jam, berita itu menyebar lebih cepat dari infeksi virus. Nama Tama mendadak memenuhi setiap layar ponsel di rumah sakit—baik itu melalui media sosial, grup pesan internal, atau portal berita resmi. Semua mengarah pada satu hal: rekaman suara yang bocor dari panggilan teleponnya dengan Elvario. "Astaga... ini benar-benar dia? Tama?" ujar seorang residen sambil memegang ponselnya dengan tangan gemetar. "Iya. Suaranya jelas banget. Dia... dia ngaku nyoba meracuni dokter El? Dan dokter Sara terlibat?" timpal seorang perawat senior. "Ya Tuhan... aku kerja bareng dia selama tiga tahun. Dan aku nggak pernah nyangka..." Semua lorong di Rum

Di sisi lain kota, di sebuah apartemen tua di lantai tiga yang tirainya selalu tertutup, Tama duduk gelisah di kursi reyot yang menghadap ke televisi mati. Tangannya gemetar, matanya sembab karena kurang tidur. Ia mengenakan hoodie hitam yang sudah kusut, wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Tatapan matanya kosong, namun sesekali kilatan marah melintas tajam. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia menoleh cepat, tubuhnya menegang. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Dengan jantung berdetak kencang, ia mengangkat telepon itu. "Halo?" suaranya rendah dan nyaris parau. "Ini aku," kata suara berat di seberang. Tama langsung berdiri. "Ada apa? Bukankah sudah selesai?!" "Sudah. Aku tidak tahu, dia mati atau tidak. Tapi polisi sudah mulai bergerak. Aku butuh sisa bayaranku. Plus tambahan. Risiko sekarang makin tinggi." "Gila kau? Kau tidak pastikan dia mati!" "Kau yang janji akan bayar penuh. Sekarang, tambahkan sepuluh juta lagi. Atau aku buka suara tentang semuan

Ruangan ICU yang sempat sunyi perlahan mulai dipenuhi oleh langkah-langkah penuh harapan. El, yang baru saja siuman setelah koma selama empat puluh hari, kini menjadi pusat perhatian tak hanya bagi keluarga, tetapi juga orang-orang penting yang selama ini mengikutinya diam-diam. Tuan Sujana datang pertama. Pria tua yang selalu tampak tenang itu kini tampak jauh lebih ekspresif. Wajahnya yang biasanya kaku kini memancarkan kelegaan yang mendalam. Tak lama, Tuan Darma menyusul, bersama Alya yang berjalan dengan hati-hati sambil membawa sebuket bunga kecil. Menyusul di belakang mereka, beberapa dokter dan perawat dari Rumah Sakit Medical juga ikut masuk satu per satu. “Dokter El… apa kau benar-benar sudah sadar?” tanya salah satu perawat dengan mata berkaca-kaca. El hanya tersenyum lembut, senyum yang tak banyak bicara, tapi penuh makna. Ia menatap satu per satu wajah yang menyambutnya dengan begitu hangat. Dalam hatinya, El mengumpati gurunya, Tabib Terkutuk yang telah menahanny