All Chapters of Manajer Cantik Milik Bos Dingin: Chapter 11 - Chapter 20

Kesedihan yang mendalam dan berturut-turut ditinggal kedua orang tuanya telah menguras air mata Eldwin semenjak dari rumah sakit hingga di pemakaman. Air matanya telah kering, menyisakan raut wajah dingin yang tanpa senyum. Eldwin tak banyak berbicara saat kembali dari pemakaman. Dia bahkan sempat enggan untuk meninggalkan pemakaman saat itu, namun semua orang terus membujuknya. Perlahan sikapnya terhadap Anna mulai berubah, acuh, dan selalu menghindarinya. Anna sendiri merasakan perubahan itu dengan berbagai alasan. Mungkin karena ditinggal kedua orang tuanya, mungkin juga karena masalah pernikahan. Meski seperti itu Anna berusaha mengesampingkan pikiran itu dan berusaha tetap memperhatikan Eldwin walaupun pemuda itu terus menghindarinya dan meminta Anna untuk pergi dari hadapannya bahkan memintanya meninggalkan rumah. Eldwin tidak ingin melihat Anna. Anna tak ambil hati apa lagi mendengarkan perkataan Eldwin yang selalu disertai amarah. Dia tetap bertahan di

Anna tiba di rumah pukul delapan malam di antar mobil pengantar makanan restoran. Dia terlihat lelah, masuk rumah bertemu dengan Bi Rum yang kemudian menutup pintu gerbang dan semua pintu.“Apa Eldwin sudah pulang Bi?” hal itu yang ditanyakan Anna pertama kali saat masuk rumah.“Sudah Non, sepertinya berada di kamarnya,” jawab Bi Rum. Anna merasa heran wanita itu tiba-tiba mengubah panggilannya pada dirinya. Hanya saja Anna sedang merasa lelah hingga tidak ingin membahasnya.“Apa dia sudah makan?” tanya Anna saat melewati ruang makan.“Apa Non Anna lupa kalau Non melarang Den Eldwin makan di rumah, ya bibi belum masak apa pun. Bibi juga tak melihatnya makan di rumah.”Anna tentu saja tak lupa pesannya kepada Bi Rum, dia merasa sedikit cemas gara-gara sikapnya Eldwin benar-benar kelaparan dan belum makan apa pun. Maka setelah membersihkan diri dan mandi Anna menemui Eldwin di kamarnya.Pintu kamar Eldwin tertutup sepertinya Eldwin sudah tidur. Anna berla

Eldwin duduk di sofa di ruang keluarga dengan buku di tengahnya saat Anna turun dari kamarnya. Eldwin masih merasa bersalah dan pura-pura fokus dengan bacaannya gara-gara kejadian di kamar mandi. “Apa kau sudah makan?” tanya Anna bersikap seolah tak terjadi apa-apa. “Menunggumu.” “Lain kali tidak perlu menunggu kau bisa makan terlebih dahulu.” Anna berjalan menuju ruang makan. Eldwin melempar buku di tangannya kemudian menyusul Anna, lantas berdiri di samping perempuan itu yang mulai sibuk mengambil nasi untuknya. “Soal tadi di kamar mandi...” “Kau tak perlu mengaturku El,” potong Anna dari kalimat Eldwin yang belum selesai. “Aku pulang dengan siapa juga karena aku tidak punya pilihan lain. Niat mereka baik dan mereka adalah orangku,” lanjutnya tanpa beralih Dari aktivitasnya. “Tapi tidak dengan lain kali, besok tunggu aku dan jangan pulang sebelum aku datang,” pikir Eldwin.

Malam itu Eldwin kembali merasakan sepi di rumahnya tanpa Anna. Dia memilih merebahkan tubuhnya di kamar Anna dengan pikiran menerawang. Ada perasaan aneh saat dia berada di kamar itu. Pikirannya pun menerawang dan penuh fantasi membayangkan hal-hal intens bersama dengan Anna tanpa sadar membuatnya tertidur. Eldwin bangun dengan kaget, pikirannya yang penuh imajinasi liar membangunkannya. ‘Sial! Ada apa denganku ini, setiap kali sendirian dan mengingat perempuan itu kenapa aku selalu membayangkan hal dewasa seperti ini. Ini gila! Bagaimana aku membayangkannya dengan Anna dan bukan dengan Erika. ‘ Jam menunjukkan pukul 9 malam, masih terlalu sore untuk dirinya tidur. Eldwin pergi ke dapur dan membuat kopi lalu duduk di ruang makan dengan ponsel di tangannya. Eldwin berpikir untuk menghubungi Anna, dia merasa yakin Anna juga belum tidur. Namun Eldwin mengurungkan niatnya, dia teringat dengan rencananya untuk memberikan ke

Anna masih berusaha menerka perasaan Eldwin yang sebenarnya melalui tatapan mata pemuda itu yang begitu dekat, dalam, dan intens. Anna bisa merasakan dari debaran jantung Eldwin yang cepat. Eldwin pun sepertinya gugup dengan situasi itu, namun aura wajahnya yang tenang mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Kenapa Anna? apa sentuhan barusan masih membuatmu ragu kalau aku benar-benar menyukaimu?” Eldwin seakan berusaha meyakinkan Anna. “Aku tidak tahu, tapi aku merasa ini terlalu cepat. Tidak mungkin semudah itu perasaanmu berubah. Aku masih ingat betul saat kau menolak keinginan ibumu dan usai pernikahan. Aku bisa melihat kebencianmu padaku.” “Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkanmu?” “Tidak ada. Pernikahan belum genap satu bulan. Kita jalani saja seperti biasa. Kau tidak perlu berpura-pura ataupun berusaha menunjukkan perasaanmu itu.” “ini real Anna, aku tidak sed