Malam itu, peta kota terbentang di dinding apartemen seperti kulit naga yang direntang. Garis-garis jalanan menjelma nadi, simpang menjadi simpul saraf, dan lampu-lampu kecil di kejauhan berkedip bagai bintang yang turun merasakan tanah. Kael menandai beberapa titik dengan kapur putih, sementara Kinari menggambar tanda-tanda laut di sela sudut peta—sigil arus, mata badai, dan huruf Aumeta yang melingkar seperti pusaran. “Rencana awal,” Kael membuka suara, “kita mengamati manusia. Kita kotak-kotakkan berdasarkan pola—rakus, putus asa, gengsi, dendam, kebetulan. Lalu kita pantau; lihat siapa yang bergetar ke arah retakan.” Kinari mengangguk, mata birunya memantulkan pendar El’Thyren. “Kita bentuk regu kecil dari para ‘cosplayer’ itu, mereka bisa jadi mata.” “Kita bisa,” sambung Kael, “tapi jumlah manusia terlalu banyak. Kota ini sendiri adalah samudra kepala, dan tiap kepala membawa ribuan niat—sebagian tak sempat jadi perbuatan, sebagian mekar diam-diam. Kita akan terbakar
ปรับปรุงล่าสุด : 2025-08-27 อ่านเพิ่มเติม