All Chapters of Suami Perkasa: Chapter 261 - Chapter 270

pov SasaHari itu. setelah semua kata dan tangisan tumpah, Sasa melangkah keluar dari pengadilan dengan langkah yang goyah. Langit mendung, angin berhembus lembap, dan udara seperti membawa beban yang sama beratnya dengan hatinya. Ia berjalan tanpa arah. Jalanan kompleks mulai sepi, hanya ada cahaya lampu jalan yang redup, menyorot bayangan tubuhnya yang gemetar. Di dadanya, rasa sakit menumpuk—seperti benang kusut yang tak tahu ujungnya di mana. “Steve…” bisiknya pelan, suara itu nyaris tenggelam di antara desiran angin. Namanya sendiri terdengar asing kini. Pria yang dulu menjadi tempatnya berteduh, yang tertawa bersamanya di masa kecil, yang dulu memanggilnya “Si kecil Sasa” dengan nada lembut—kini justru menjadi luka yang paling dalam. Ia menahan air mata, tapi percuma. Air itu jatuh juga. Air mata yang ia tahan sejak tadi kini mengalir bebas. Ia mencintai Steve sejak kecil. Mereka berbagi rahasia, bahkan mimpi. Tapi semuanya berubah ketika pernikahan mereka—yang semul

Hari-hari berlalu seperti embun pagi yang perlahan menguap di bawah hangatnya matahari. Sasa mulai tersenyum lagi—bukan karena semuanya sudah baik-baik saja, tapi karena kini ia tidak lagi sendirian menanggung sepi. Zack selalu hadir di sela hari-harinya, diam-diam mengisi ruang kosong yang dulu dibiarkan oleh kepergian Steve. Ia tidak datang dengan janji, tidak membawa kata manis, tapi dengan tindakan-tindakan kecil yang justru membuat hati Sasa tak pernah tenang. Setiap pagi, Sasa menemukan satu cangkir kopi hitam di depan pintunya. Kadang ada catatan kecil di sampingnya: “Selamat pagi, Sa. Hari ini jangan lupa senyum.” Atau, “Langit mendung, tapi kamu jangan ikut mendung juga.” Sasa tak pernah tahu kapan Zack meletakkannya. Tapi setiap kali membaca tulisan tangan itu, dadanya hangat seperti disentuh matahari. Kadang mereka berjalan berdua ke taman dekat rumah, membawa roti dan kopi, duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Zack bercerita tentang pekerjaannya sek

Sudah tiga hari Sasa tidak membalas pesan Zack. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun bagi lelaki itu. Setiap pagi Zack menunggu di depan kafe tempat Sasa biasa membeli kopi, hanya untuk melihat sekilas wajah yang sedang ia rindukan. Tapi Sasa tidak pernah muncul. Hari keempat, hujan turun deras — seperti saat mereka terakhir bicara jujur. Zack akhirnya memutuskan datang ke apartemennya. Ia mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Sekali lagi. Baru setelah ketukan ketiga, pintu terbuka sedikit. Sasa berdiri di sana, wajahnya tanpa ekspresi, mata sembab. “Kamu ngapain ke sini?” tanyanya datar. “Aku cuma mau ngomong.” “Aku nggak mau denger—” “Sasa, tolong,” suara Zack serak. “Sekali aja.” Sasa menatapnya lama, lalu membuka pintu lebar. “Cepat. Aku nggak punya waktu banyak.” Zack masuk, berdiri di ruang tamu kecil yang masih menyimpan aroma kopi dan parfum mawar lembut. Ia menatap Sasa, mencoba menahan diri untuk tidak mendekat. “Aku tahu kamu masih marah,” katanya pelan

Hari-hari pertama di penjara adalah neraka bagi Farel. Suara besi beradu, teriakan para napi, bau keringat dan lembap bercampur jadi satu. Ia ditempatkan di sel sempit berisi empat orang. Kasur tipis di pojok, dinding berjamur, dan cahaya lampu redup yang tidak pernah benar-benar padam.Malam-malam terasa panjang. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat wajah Sukma yang tercekik karena kopi beracun. Ia melihat tangannya sendiri yang menaruh cangkir itu di hadapan istrinya. Meski otaknya tahu itu semua karena bujuk rayu Laura, tetap saja rasa bersalah itu menempel padanya.Tapi yang lebih menyakitkan adalah bayangan Kamila.Kamila, pacar masa mudanya. Perempuan lembut yang menderita sakit jantung sejak kecil. Farel mencintainya dengan tulus, dan ia berjanji akan selalu menjaganya. Tapi saat Kamila mati… semuanya hancur.Sejak itu, Laura masuk ke dalam hidupnya, membisikkan kata-kata manis sekaligus racun. “Sukma penyebab kematian Kamila. Dia egois. Kalau kau ingin hidup tenang, kau har

Sukma duduk di teras kafe kecil yang teduh, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya. Angin sore mengibaskan helaian rambutnya, sementara tatapannya jatuh pada sosok yang baru saja datang dan duduk di hadapannya—Carlos. Wajah pria itu tampak lebih tenang dibanding terakhir kali Sukma melihatnya bertahun-tahun lalu, tapi ada gurat getir yang tidak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. “Sudah lama,” ucap Carlos pelan, matanya menatap Sukma dalam-dalam. “Aku hampir tidak percaya kita bisa duduk berhadapan begini, setelah semua yang terjadi.” Sukma tersenyum tipis. “Waktu yang lama memang bisa mengubah banyak hal, Carlos. Aku pun tidak pernah menyangka akan bertemu lagi denganmu dalam keadaan seperti sekarang.” Ada jeda sejenak. Keduanya terdiam, membiarkan kenangan masa lalu melintas begitu saja. Pernikahan mereka dulu penuh gejolak, penuh luka dan rasa bersalah. Carlos pernah depresi, bahkan hampir menghancurkan dirinya sendiri. Sukma pun terjerat dalam li