Jam menunjukkan pukul 22.45 ketika Nayla akhirnya membuka pintu rumah. Ia menenteng tas kerja, tumitnya sedikit goyah, dan wajahnya lelah. Lampu ruang tengah menyala, samar. Di meja makan, sepiring makanan yang sudah dingin masih tertata rapi. Ada secangkir teh melati yang uapnya sudah hilang sejak entah kapan.Raka duduk di sofa, mengenakan kaus dan celana pendek. Di tangannya, sebuah buku belum selesai dibaca.“Kamu belum tidur?” tanya Nayla sambil mengganti sepatunya.Raka menggeleng. “Nunggu kamu.”Nayla hanya tersenyum kecil. Ia berjalan ke meja makan, membuka nasi, dan menatapnya lama. Makanannya lengkap. Bahkan ada potongan mangga di mangkuk kecil—buah favoritnya.“Maaf ya, aku pulang terlambat terus.”“Sudah biasa,” jawab Raka datar. Bukan marah, bukan kecewa. Tapi kosong. Dan justru itu yang menampar Nayla paling keras.⸻Beberapa minggu terakhir, Nayla seperti hidup dalam dua dunia. Di luar, ia pahlawan yang dielu-elukan. Tapi di dalam, rumah mulai terasa sunyi. Ia selalu pu
Last Updated : 2025-06-19 Read more