Home / Romansa / Hukum yang Tak Tertulis / Sidang yang Membuka Luka

Share

Sidang yang Membuka Luka

last update Last Updated: 2025-05-30 23:34:46

Hari itu, ruang sidang dipenuhi oleh wartawan, aktivis, mahasiswa hukum, bahkan masyarakat biasa yang mulai mengikuti kasus ini karena viral di media sosial. Nama Ari Pratomo dan Dara sudah menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang menyalahgunakan hukum.

Dara datang mengenakan kemeja putih sederhana. Matanya sembab, tapi wajahnya tegas. Di sisi luar, ia mungkin tampak seperti perempuan muda biasa. Tapi di dalamnya, kini tumbuh keberanian yang bahkan tak ia sadari ia miliki.

Hakim membuka sidang dengan suara berat, "Hari ini, kita akan mendengarkan kesaksian kunci yang dapat mengubah arah perkara ini..."

Ari duduk di kursi terdakwa, namun hari itu, ia bukanlah sosok yang menyerah. Wajahnya tajam, sorot matanya penuh keyakinan. Jaksa mencoba menekan, tapi Ari menanggapi setiap pertanyaan dengan ketenangan yang menusuk:

“Saya tahu saya bukan sempurna, Yang Mulia. Tapi saya tak akan diam ketika hukum dipermainkan. Jika saya harus jatuh karena mengatakan kebenaran, biarlah. Tapi saya akan jatuh dengan kepala tegak.”

Ruangan sunyi. Bahkan suara kamera berhenti sejenak. Kalimat Ari menembus lapisan hukum yang dingin, merobek hati siapa pun yang masih punya nurani.

Saksi selanjutnya adalah seorang pria paruh baya. Mantan auditor perusahaan yang akhirnya bersedia bersaksi setelah melihat keberanian Ari dan Dara.

“Nama saya Taufik. Saya pernah diperintah memalsukan laporan keuangan. Saat saya menolak, saya dipecat secara tidak hormat. Saya kira saya akan diam seumur hidup. Tapi... Ari Pratomo menyadarkan saya bahwa diam hanya membuat para penjahat merasa kebal.”

Suara Taufik bergetar, tapi setiap katanya seperti palu ke dinding benteng kebohongan.

Setelah sidang usai, Ari dipanggil kembali ke ruang tahanan. Namun untuk pertama kalinya, ia berjalan dengan punggung tegak. Ada harapan yang nyata — bahwa mungkin, hanya mungkin, kebenaran akan menang.

Di luar gedung, Dara mengangkat kepalan tangannya ke udara. Massa menyambut dengan tepuk tangan dan yel-yel:

"Hukum bukan alat kekuasaan! Hukum adalah pelindung rakyat!"

Malam harinya, Dara menulis catatan di jurnalnya:

“Hari ini aku belajar: keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian adalah tetap melangkah meski dunia mencoba mematahkanmu.”

“Dalam sistem hukum yang retak, suara rakyat yang jujur bisa menjadi lem perekatnya. Ari dan Dara kini tak hanya memperjuangkan nasib mereka — tapi juga wajah keadilan bagi bangsa.”

Matahari mulai tenggelam saat Dara duduk sendiri di taman kecil dekat gedung pengadilan. Udara masih menyisakan ketegangan hari itu, namun senyumnya perlahan mengembang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa... tidak takut.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang hanya bisa digunakan satu arah — kiriman dari dalam tahanan:

"Hari ini aku melihatmu berdiri di luar ruang sidang. Tegak, berani, dan indah. Seperti matahari yang bersinar di tengah musim badai. Terima kasih, Dara. Tanpamu, aku mungkin sudah tenggelam."

– Ari.

Dara menahan napas. Tangannya gemetar memegang ponsel. Tak ada kata yang lebih ia butuhkan hari itu selain kalimat Ari.

Ia balas dengan foto dirinya di taman, wajahnya menyimpan air mata yang tak jatuh — bukan karena sedih, tapi karena bangga.

"Dan tanpa kamu, aku tak tahu bagaimana caranya percaya pada keadilan. Kita belum menang, tapi kita sudah tak sendiri lagi. Aku di sini, bersamamu. Selalu."

Di balik jeruji, Ari memandangi langit senja dari jendela kecil di selnya. Sekilas, senyum tipis merekah. Ia menutup mata dan membayangkan Dara duduk di bawah langit yang sama.

Untuk pertama kalinya sejak kasus ini meledak, hatinya tenang.

Keesokan paginya, Dara membawa setangkai bunga melati dan meletakkannya di pagar besi luar tahanan — tepat di tempat yang bisa dilihat Ari dari dalam. Tak ada kata. Hanya lambang ketulusan dan cinta diam-diam yang tidak butuh penjelasan.

Seorang petugas penjaga bertanya pelan, “Untuk siapa bunga itu?”

Dara menjawab dengan suara pelan namun yakin, “Untuk orang yang sedang mempertaruhkan segalanya demi kebenaran.”

Senyum Dara hari itu menular. Para pengacara muda, mahasiswa hukum, bahkan petugas pengadilan ikut merasakan bahwa hukum bukan hanya soal pasal dan aturan — tapi juga tentang keberanian mencintai kebenaran, dan mencintai sesama manusia yang memperjuangkannya.

“Kadang, cinta datang bukan dari pelukan… tapi dari keberanian berdiri bersama, melawan dunia.”

Hari mulai beranjak sore ketika Dara kembali menatap pagar tempat ia meninggalkan bunga melati. Bunga itu masih di sana, tertiup angin, seolah ikut berdoa bersama langkah-langkah mereka yang belum berhenti.

Ia berdiri lebih tegak hari itu. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya bersih tanpa riasan — tapi sorot matanya menyala. Sorot mata seorang perempuan yang tak lagi ingin jadi penonton dalam sistem yang menindas.

Di dalam tahanan, Ari sedang duduk menyalin sesuatu di balik lembaran catatan. Ia menulis dengan tenang, sambil sesekali menatap jendela kecil ke arah cahaya. Di halaman pertama, ia tulis:

"Jika mereka bisa menekan satu pengacara karena ia bersuara, maka aku akan menulis lebih keras dari sebelumnya. Jika mereka membungkam suara keadilan, maka kami akan mengubahnya menjadi nyala terang yang membakar ketidakadilan."

Sementara itu, dukungan dari masyarakat terus mengalir. Tagar #BebaskanAriPratomo dan #HukumUntukRakyat terus naik di berbagai platform. Bukan karena simpati semata, tapi karena orang-orang mulai tersadar: hukum tak akan berubah jika mereka diam.

Seorang anak muda menulis di komentar:

“Aku baru semester dua hukum. Tapi karena kasus ini, aku tahu kenapa aku memilih jalan ini. Untuk tidak jadi pengacara yang sekadar pintar pasal — tapi yang berani bicara ketika yang benar dipaksa salah.”

Sore itu, Dara duduk bersama adik kelasnya yang dulu ragu memilih jalur hukum publik.

“Aku lihat kamu di TV, Kak. Kamu berani sekali. Aku jadi ingin ikut LSM bantuan hukum.”

Dara tersenyum. “Bukan berani. Aku hanya muak melihat yang salah terus menang. Kamu juga bisa. Kita semua bisa.”

Dan begitulah bab ini berakhir — bukan dengan kemenangan di meja hakim, bukan dengan sorak sorai, tapi dengan kobaran semangat yang menjalar ke hati banyak orang.

Dari satu kasus kecil, tumbuh gelombang besar perubahan.

"Kadang, perjuangan tak langsung menang. Tapi ketika satu suara jujur menggugah ribuan hati, itulah kemenangan sejati. Dan selama masih ada satu orang yang berani berkata 'tidak' pada ketidakadilan, maka hukum belum mati."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hukum yang Tak Tertulis   Hukum yang Tak Pernah Tulis

    Di balik gemerlap kota yang tak pernah tidur, Ari berdiri di jendela ruang kerjanya. Matanya menatap jauh ke cakrawala, tempat di mana langit malam bertemu dengan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu. Suara gemuruh kota menjadi musik latar perjuangannya selama ini.Perjalanan panjang telah membawa Ari pada sebuah pemahaman yang dalam. Bahwa hukum bukan hanya tentang aturan yang tercatat di buku, atau pasal-pasal yang dikaji di ruang sidang. Hukum yang sesungguhnya adalah suara hati nurani, keadilan yang hidup dalam setiap langkah manusia.Ia teringat percakapan dengan Bima, anaknya yang polos tapi penuh tanya, yang mengajarkannya kembali tentang arti “hukum yang tak tertulis” — nilai, moral, dan rasa keadilan yang melekat dalam hidup sehari-hari. Hukum itu mengikat bukan karena ancaman, tapi karena kesadaran akan kebaikan dan tanggung jawab.Ari menutup matanya sejenak, membiarkan damai merayap masuk ke dalam jiwanya. Ia tahu, perjuangan masih akan berlanjut, tapi kini d

  • Hukum yang Tak Tertulis   Melangkah Bersama Menuju Keadilan Sejati

    Di ruang keluarga yang hangat itu, Ari, Dara, dan Bima duduk bersama menikmati sore yang tenang setelah hari yang panjang penuh perjuangan. Perjalanan panjang menghadapi tekanan media, politik, hingga intrik di balik layar hukum telah menguji keteguhan mereka. Namun, di tengah segala badai, mereka tetap bersatu, saling menguatkan.Ari memandang kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya dan berkata, “Perjalanan ini bukan hanya soal menang atau kalah dalam sebuah kasus, tapi tentang bagaimana kita bisa memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tidak hanya tertulis di kertas, tapi juga hidup di hati setiap orang.”Dara menggenggam tangan Ari erat, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Dan aku yakin, selama kita tetap berpegang pada nilai-nilai itu, tidak ada yang bisa menghancurkan kita.”Bima yang kini semakin mengerti arti keadilan dan tanggung jawab, menatap ayah dan ibunya dengan penuh semangat, “Aku ingin menjadi seperti Ayah, seseorang yang tidak hanya tahu h

  • Hukum yang Tak Tertulis   Makna di Balik Kata Hukum yang Tak Tertulis

    Di tengah heningnya sore, Ari mengajak Bima duduk bersama di teras rumah. Angin sepoi-sepoi mengiringi percakapan mereka yang mulai mengalir mendalam.“Ayah, tadi aku tanya soal hukum tak tertulis. Apa sebenarnya maksudnya?” tanya Bima dengan rasa ingin tahu yang tulus.Ari tersenyum, lalu mulai menjelaskan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. “Nak, hukum yang tak tertulis itu sebenarnya adalah aturan-aturan yang tidak tertulis di buku hukum, tapi tetap mengatur bagaimana kita hidup bersama sebagai manusia. Bisa berupa nilai, norma, adat istiadat, dan prinsip moral.”“Ada banyak hal dalam hidup yang tidak bisa diatur oleh hukum resmi, tapi tetap penting untuk diikuti supaya kita bisa hidup rukun dan damai. Misalnya, kejujuran, saling menghormati, tolong-menolong, dan menjaga kepercayaan.”Bima mengangguk pelan, mencoba menyerap arti kata-kata ayahnya.“Hukum tak tertulis itu adalah fondasi dari kehidupan bermasyarakat yang baik. Jika orang-orang melanggarnya, meski tidak ada yan

  • Hukum yang Tak Tertulis   Ketika Hati Perempuan Menjadi Kompas Keadilan

    Dara duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarganya di dinding. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi pikirannya melayang jauh, merenungi banyak hal yang baru saja dia pelajari dari Ari. Baginya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan kaku yang harus dipatuhi, tapi juga soal kepekaan hati, intuisi, dan keberanian untuk memilih yang benar dalam situasi yang kompleks.Sejak kecil Dara dibesarkan dalam keluarga elit yang sering kali menekankan pada kekuasaan dan status. Namun, menikah dengan Ari membuka matanya pada dimensi lain dari keadilan—yang berasal dari empati dan integritas moral. Ia mulai memahami bahwa sebagai anak seorang gubernur dan seorang istri pengacara, dia memiliki tanggung jawab moral yang besar, bukan hanya untuk melindungi keluarga, tapi juga untuk menjadi suara kebenaran dalam lingkaran sosial dan politiknya.Suatu sore, ketika Bima bermain di halaman, Dara mengajak Ari berbicara tentang bagaimana seorang perempuan bisa menjadi pemimpin moral dalam masyarakat.

  • Hukum yang Tak Tertulis   Pelajaran dari Seorang Ayah

    Sore itu, hujan turun rintik-rintik. Aroma tanah basah menyatu dengan aroma teh melati yang diseduh Dara di meja ruang keluarga. Bima, yang baru pulang dari sekolah, membuka sepatunya dengan rapi lalu duduk di samping Ari yang sedang membaca dokumen perkara.“Yah,” suara Bima pelan, tapi jelas. “Di sekolah tadi ada pelajaran soal hukum. Guru bilang ada yang namanya ‘hukum tertulis’ dan ‘hukum tak tertulis’. Tapi aku bingung, apa maksudnya hukum yang tak tertulis? Bukannya semua hukum harus jelas?”Ari meletakkan berkasnya, menatap mata anaknya. Ia menyukai saat-saat seperti ini—ketika anaknya bertanya bukan karena disuruh, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh dari dalam.“Hukum tertulis itu seperti undang-undang, pasal-pasal yang kamu bisa baca di buku. Tapi hukum tak tertulis, Bim… itu hidupnya di hati manusia,” jawab Ari dengan tenang.Bima mengernyit. “Maksudnya gimana?”Ari tersenyum, lalu mengambil cangkir teh dan menyeruputnya sebentar sebelum melanjutkan. “Contohnya begini.

  • Hukum yang Tak Tertulis   Rumah yang Menjadi Sekolah Hati

    Mentari pagi menyelinap lembut di sela tirai jendela. Rumah sederhana namun hangat di bilangan selatan Jakarta itu tampak sunyi dari hiruk-pikuk media dan urusan politik. Di balik semua ketegangan dunia luar, Ari Pratomo, seorang pengacara yang kini namanya menjadi simbol perlawanan rakyat, menjalani kehidupan yang paling ia jaga dan cintai: sebagai suami bagi Dara, dan ayah bagi Bima.“Bima, sini dulu ke Ayah,” panggil Ari sambil menutup laptopnya. Di layar tadi, berbagai dokumen hukum dan skema perlawanan sedang dikaji—tapi pagi ini, ia memilih jeda.Anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun itu menghampiri sambil membawa mainan robot dan komik kesukaannya.“Ayah, kenapa orang jahat selalu menang duluan?” tanya Bima polos, sambil duduk di pangkuannya.Ari tersenyum, menatap mata anak itu sejenak sebelum menjawab. “Karena kebenaran, Nak, itu seperti pohon. Ia butuh waktu untuk tumbuh tinggi. Tapi begitu akarnya kuat, tak ada badai yang bisa merobohkannya.”Dara datang dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status