Semua Bab Gairah Cinta Kakakku: Bab 11 - Bab 20

(POV Juna) Aku menatap langit-langit kamar, gelapnya seakan mencerminkan kekosongan di hatiku. Bayangan Silvi, senyumnya yang manis, matanya yang berbinar, semua itu berkelebat secepat kilat, meninggalkan jejak rindu yang menyesakkan. Sudah empat hari gadis itu tinggal di rumah orang tua angkatnya, tapi bagiku terasa seperti satu abad. Sehari saja tak bertemu, rasanya dadaku sesak, napasku tersengal. Aku kehilangan fokus, aktivitasku terasa hampa, tak bermakna tanpa kehadirannya. Bahkan secangkir kopi pagi pun terasa hambar. Sejak kepergiannya, rumah ini berubah menjadi kuburan sunyi. Tak ada lagi gelak tawa riangnya yang dulu selalu menggema, mengusir sepi. Malam penolakan itu masih menghantuiku. Sejak saat itu, aku merasakan perubahan dalam dirinya, jarak yang tak kasat mata tapi terasa begitu nyata. Aku sudah meminta maaf, berkali-kali, tapi hasilnya nihil. Alasan rindu orang tua angkatnya terasa seperti tameng, alibi ya

"Kamu nggak punya perasaan sama Silvi 'kan, Jun?" Pertanyaan Opa menusukku seperti anak panah yang tepat sasaran. Sorot mataku yang sejak tadi mengamati Silvi dan Robert kini tertuju pada Opa, terpaku. Dadaku terasa sesak, perasaan campur aduk bergulung-gulung di dalam sana. "Perasaan apa maksud Opa?" "Cinta. Tapi bukan antara kakak ke adik, melainkan cinta pada lawan jenis." Opa menatapku curiga, tatapannya tajam dan menusuk. Aku langsung menggeleng cepat. Bisa-bisanya Opa berpikir seperti itu. Pikiran itu membuatku merasa tidak nyaman. Aku akui, aku memang sayang dan mencintainya, sayang yang begitu dalam, yang melebihi kasih sayang kakak-adik biasa. Tapi aku selalu meyakini diriku, bahwa rasa ini hanyalah kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Setidaknya, hingga saat ini aku masih berusaha meyakini itu. Aku takut jika aku salah. "Enggaklah, Opa. Aku mencintai Silvi seba

"Om Dono mengatakan kalau Papi tidak memberikan izin Silvi menikah… bukan cuma Papi, tapi Mami, bahkan kamu juga tidak akan pernah bisa bertemu dengan Silvi lagi. Om Dono dan Tante Della melarangnya." Kata-kata Papi jatuh seperti palu, menghantamku dengan keras.Mataku membulat sempurna. Terkejut, tak percaya, dan amarah membuncah kembali, lebih dahsyat dari sebelumnya. Kedua tanganku mengepal kuat, jari-jariku memutih karena tekanan. Rasanya aku ingin menghajar wajah Om Dono sekarang juga, menghancurkan setiap giginya satu per satu."Jahat sekali Om Dono. Bisa-bisanya dia tega ingin melakukan itu!""Papi yakin semua yang dilakukan Om Dono bukan sepenuhnya karena keinginannya, Jun. Dan Papi melarangmu untuk berbuat kasar padanya, karena itu akan memperumit keadaan.""Kalau bukan sepenuhnya keinginan Om Dono, lalu keinginan siapa? Tante Della?" Aku masih berusaha mencari logika di balik semua ini."Silvi lah, Jun. Kan d

"Eh, Jun. Kapan datang?" tanya Papa, suaranya bercampur heran dan sedikit khawatir melihat kedatangan Kak Juna yang tiba-tiba dan dramatis. Namun, Kak Juna tak menjawab. Tatapannya terpaku padaku, intens dan penuh pertanyaan yang belum dijawab. Langkahnya pasti dan teguh, mendekat seolah-olah menarikku ke dalam pusaran emosinya."Itu ... aku, eeemm ... saat Kakak bertunangan. Kak Robert 'kan datang dan aku langsung tertarik padanya," jawabku, suara gugup dan terbata-bata lolos dari bibirku.Ucapan itu terasa begitu kecil dan tak berdaya di tengah badai emosi yang tengah berkecamuk. Sentuhan tangan Kak Juna yang tiba-tiba mendarat di tanganku, dingin namun kuat, menarikku untuk berdiri."Kamu sekarang ikut Kakak, kita harus bicara empat mata." Suaranya tegas, tak ada ruang untuk penolakan. Dia menarikku, langkahnya cepat dan pasti, membawaku keluar dari rumah, bahkan tanpa sempat mengenakan alas kaki."Lho, Jun! Kamu mau bawa Silvi ke mana?" teriak Kak Robert, suaranya cem

"Kamu bilang apa, Dek? Kakak menikahimu?" Suaranya terdengar terbata-bata."Iya," jawabku dengan nada sedikit menantang, suara dan tatapanku teguh, menunjukkan keseriusanku."Konyol. Kakak nggak mungkin melakukan hal itu, Dek. Kita 'kan—""Kalau nggak mungkin, berhenti melarangku untuk menikah!" potongku cepat, penuh emosi. Suaraku meninggi.Padahal aku sudah menduga jawabannya akan menyakitkan, tapi bisa-bisanya aku nekat berkata seperti itu.Menyebalkan!Tanganku mengepal erat, menahan keinginan untuk memukul wajahnya.Rasanya ingin kutonjok wajah Kak Juna sekarang juga, tapi aku masih bisa menahan diri karena masih menghormatinya sebagai Kakakku."Mulai sekarang... berhenti ikut campur tentang semua urusanku! Urus saja urusan Kakak dan fokuslah kepada Mbak Friska!" Aku menambahkan kalimat itu dengan penuh ketegasan.Kak Juna langsung terdiam. Mobil kembali melaju, namun pelan, menembus hiruk