All Chapters of Pernikahan Paksa Sang Mafia: Chapter 101 - Chapter 110

"Ayah, jangan bilang..." katanya dengan nada menahan emosi, "jangan bilang kau juga memberikan bukti jika kita yang membakar mobil itu!" tanya Patricia dengan nada memincing.Lagrand menoleh perlahan dengan meneguk salivanya susah payah. Matanya masih menyimpan bara frustrasi yang bgitu besar. Tapi ia tidak menyangkal apa yang diucapkan sang putri ia hanya mengangguk sekali, mantap dan tegas."Bukti itu dibutuhkan olehnya karena Faye tidak akan percaya begitu saja tanpa adanya pengakuan dan rincian nyata," jelasnya dengan datar.Jantung Patricia mendadak terasa berhenti. Wajahnya berubah menjadi murka, dan suaranya semakin meninggi. "Bodoh!" pekiknya. "Kau gila?! Aku tak ingin terlibat apa pun lagi dengan kasus itu, Ayah! Bahkan mendengarnya saja aku sudah cukup muak! Tapi jika kasus ini kembali diungkap oleh siapapun—Damian, pihak luar, atau bahkan intel internasional—aku tidak akan ada hubungannya. Aku sudah bersusah payah menghilangkan barang bukti dan menyuap pihak kepolisian untu

“Kalian bilang mereka takkan bisa lolos!”DOR! DOR!Dua tembakan lagi, kali ini tepat mengenai pengawal di sisi kiri dan satu di belakangnya yang ikut tumbang. Jeritan panik tak bisa terhindarkan, darah kental bercucuran di bawah kaki mereka, tapi tak ada yang berani melawan. Ruangan kini sepi, hanya tersisa asap senjata dan bau darah yang menguar tajam.Patricia muncul darii ambang pintu, wajahnya pucat seketika. “Ayah ... kau sudah gila,” bisiknya menutup mulutnya sendiri.Lagrand mendengus pelan. “Aku kehilangan kendali atas sistemku, atas satelitku ... dan sekarang kau memanggilku gila?! Kau ingin ikut dengan mereka? Hah?!”Patricia menatap jasad-jasad di lantai, lalu berkata dingin, “Kau baru saja mempercayai orang yang salah. Faye bukan sekadar perempuan biasa. Dan sekarang... kita dalam posisi kalah. Jadi, memang aku pantas memanggilmu, gila!”Lagrand menoleh dengan cepat, matanya mulai merah penuh amarah. “Keluar dari sini, Patricia. Sebelum aku tak bisa membedakan mana musuh

Alea membuka mulut hendak menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar dari dalamnya. Napasnya semakin tertahan ketika Damian mencondongkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat hingga napasnya menyentuh pipi Alea dan membuat gadis itu kehilangan keberaniannya.Refleks, Alea memejamkan matanya. Ia menahan napas, tak tahu apakah tubuhnya sedang bersiap untuk disentuh—atau lari.Damian tertawa pendek, lalu akhirnya menoleh padanya. “Kau takut?”Alea mengangguk pelan. “Ya. Tapi juga ... penasaran,” cicitnya lagi.Damian mengambil remote kecil dan memperbesar tampilan monitor di mana Carden kini tengah turun membawa koper senjata dan menghilang ke lorong sebelah mansion, ia bernafas lega ketika melihat orang kepercayaannya kembali dengan selamat.Lalu, pria itu membungkuk sedikit, menempatkan dirinya sejajar dengan Alea, berbisik dekat telinganya. “Kau ingin seperti mereka?” tanyanya pelan, nyaris terdengar menggoda. “Membakar dan terbakar bersama seseorang ... di tengah perang yang tak pernah

Alea hanya bisa memejamkan matanya, membiarkan tangannya menggenggam lengan Damian yang kini memeluknya erat.“Uhh …,” ia mendesah sekali lagi, merasakan sensasi yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.Damian mengecup keningnya pelan. “Aku di sini … dan aku tak akan membiarkanmu sendiri. Tidak untuk hari ini.”Damian menatap Alea dalam-dalam, meminta izin terakhir lewat matanya sebelum ia benar-benar menyatu. Gadis itu mengangguk perlahan, meski wajahnya memerah dan napasnya mulai tercekat. Damian mulai menggerakkan badannya, menyusuri lekuk tubuh Alea dan memastikan gadis itu tidak tegang, lalu dengan perlahan, ia membuka pakaiannya dan melemparkannya begitu saja.“Tahan sebentar,” ujarnya lagi, kini, ia berada tepat di atas tubuh Alea, memainkan gerakan yang membuat gadis itu menggelinjang di bawahnya, sesaat setelah melihat wajah Alea yang menikmati gerakannya, tangannya menyusuri lekuk tubuh Alea, mengusapnya lembut, sementara bibirnya tak henti melumat gundukan di dada Alea. Beber

Cahaya samar menembus celah ventilasi di langit-langit ruang bawah tanah. Meski tak secerah sinar matahari pagi di luar sana, cukup membuat Alea mengerjapkan mata pelan. Napasnya hangat, dadanya naik turun perlahan. Ada kehangatan di belakang tubuhnya, serta lengan yang melingkar kuat di pinggangnya.Ia membeku sejenak sekan engah mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Pipinya menghangat begitu ia mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. matanya membelalak kecil begitu merasakan tangan kokoh yang masih melingkari pingganya, lalu dengan sangat pelan ia mencoba bergeser… tapi pelukan Damian justru semakin mengencang.“Hmm …,” gumam pria itu dengan suara serak khas baru bangun tidur, napasnya mengenai tengkuk Alea. “Mau ke mana?”“A-aku… hanya… panas …” bisik Alea gugup, mencoba menghindar.Ia menundukkan kepalanya sedikit, lalu mencium lembut bahu Alea yang masih telanjang. “Masih pagi ... Tidur lagi, Sayang.”Alea menahan napas. Kata “sayang” itu membuat jantungnya langs