All Chapters of Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku: Chapter 271 - Chapter 280

"Dio.""Iya, Pak?" Dio yang menyetir menjawab panggilan Ananta dengan memandang lelaki itu melalui rear view mirror."Setelah mengantar saya dan Ibu, kamu beli tempat tidur anak-anak."Andara yang duduk di sebelah Ananta langsung mengangkat mukanya dari layar handphone. "Untuk apa, Mas?""Untuk Kai.""Kai, kan, tidur sama kita. Buat apa dibeliin?""Kai itu sudah besar, Andara. Sudah tiga tahun lebih. Pelan-pelan dia harus dilatih tidur sendiri.""Tapi aku belum mau pisah sama Kai. Nanti-nanti ajalah, Mas, kalau dia udah SD," jawab Andara keberatan."Tempat tidurnya tetap di kamar kita, bukan di kamar sebelah.""Jadi maksudnya kita sama Kai cuma pisah tempat tidur?" tanya Andara lagi, berusaha memahami rencana suaminya.Ananta mengangguk."Aku nggak yakin Kai bakalan mau secara setiap malam tidurnya meluk kamu atau aku." Andara merasa pesimis."Pelan-pelan aja, Kai pasti mau apalagi kalau nanti tempat tidurnya motif kartun kesukaan dia. Kamu nggak usah khawatir. Dia tetap dekat dengan

Memangnya apa yang tidak bisa Kael Ananta lakukan?Persis seperti yang dikatakannya, hanya dengan jentikan jari ia bisa mendapatkan apa saja.Seperti yang saat ini terjadi. Tidak butuh waktu lama bagi Ananta untuk mewujudkan rumah impian mereka atau lebih tepatnya sang putra.Ananta masih mengingat percakapan mereka sebelum tidur waktu itu. Saat ia mendongengkan Kaivan tiba-tiba saja anak itu nyeletuk."Pa, Kai mau rumah yang ada kolam renang di atasnya."Ananta saling pandang dengan sang istri. Entah bagaimana anak mereka bisa meminta hal tersebut. Keinginan kecil Kaivan itu tampak sederhana, tapi Ananta tahu, bagi putranya, itu adalah impian besar. Dan seperti biasa, Ananta tidak pernah menundanya.Syukurlah mereka mendapatkan satu unit rumah seperti yang diminta Kaivan yang siap untuk ditinggali. Mereka tidak perlu menghabiskan waktu untuk menunggu lama.Hari ini sepasang suami istri tersebut mengadakan acara syukuran rumah baru mereka. Rumah baru itu benar-benar memukau. Terleta

“Bang, maaf, aku terima telepon dulu,” kata Vanka meminta izin. “Silakan, Vanka.” Shankara tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan antara Vanka dengan seseorang di seberang sana. Tapi tetap saja ia bisa mendengar percakapan tersebut karena orang di seberang telepon suaranya begitu keras. Dan dari pendengaran secara sepihak itu tampaknya penelepon di seberang sana membuat Vanka jengkel.“Kamu di mana?” “Masih di rumah Andara."“Apa? Masih di sana? Mau sampe jam berapa? Mau cuci piring kamu di sana?!"“Aku nggak mungkin pulang duluan. Baru aja datang.""Aku udah bilang nggak boleh lama-lama. Bandel ya kamu!""Ck!" Vanka berdecak kesal."Apa kamu bilang? Kesal sama aku? Udah berani ngelawan kamu, hah?!"Tanpa sengaja Shankara terbatuk tanpa bermaksud apa-apa.“Kamu sama siapa? Itu suara siapa? Kamu lagi sama cowok?” Vanka langsung memandang pada Shankara. Suara batuknya terdengar oleh lawan bicara Vanka.“Kok nggak dijawab? Aku lagi nanya sama kamu. Jadi kamu selingkuh di belakan

Ananta menatap dari jauh Kaivan yang merengek ingin ikut dengan Andara. Anak itu memaksa untuk digendong. Tadi Andara sudah menggendongnya walau cuma sebentar. Meskipun sudah dinyatakan pulih, Andara tetap berjaga-jaga agar tidak terlalu sering mengangkat beban berat."Kai mau gendong... Kai mau ikut sama Mama...," rengeknya, wajah mungil itu kini berurai air mata.Andara jongkok, mengusap pipi anaknya. "Sayang, Kai nggak bisa ikut. Mama harus kerja. Dua hari aja kok, nanti Mama pulang.""Tapi Kai mau ikut...."Ananta menyaksikan semua itu dengan masygul. Yang diinginkannya, Andara tetap berada di rumah mengurus dirinya dan putra mereka. Perempuan itu tidak perlu repot-repot bekerja. Ingin sekali mengatakan pada Andara bahwa ia tidak perlu bekerja. Ananta akan memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Tapi di sisi lain Ananta tidak ingin menjadi suami yang egois.Ananta akhirnya melangkah mendekat. Ia mengangkat Kaivan ke pelukan. Gerakan itu membuat Andara refleks menahan napas. Ia

Seulas senyum terbit di bibir Andara membaca chat dari suaminya.Jari-jemarinya masih berada di layar dan siap mengetik balasan ketika pengumuman tiba-tiba terdengar.“Good morning, ladies and gentlemen. Welcome aboard our flight from Jakarta to Singapore. We are now ready for departure. For your safety, please ensure your seat belt is securely fastened, your seat is in the upright position, your tray table is stowed, and your window shades are open. We kindly remind you to switch off all electronic devices, including mobile phones, or set them to flight mode. Thank you for your attention, and we wish you a pleasant flight.”Andara segera mengubah ponselnya ke flight mode tanpa sempat mengirim balasan untuk Ananta. Ia juga tidak sempat berpikir dampaknya akan sejauh apa pada suaminya.Ia menyimpan ponselnya ke dalam tas. Ada sedikit rasa sesal, karena ia tahu Ananta tidak pernah suka menunggu balasan. Bayangan wajah suaminya yang dingin dan penuh kontrol langsung melintas di benaknya.