Lahat ng Kabanata ng Hasrat Liar Suami Wasiatku: Kabanata 51 - Kabanata 60

Winny tidak bisa menahan ekspresinya kali ini. Bagai tersambar petir, ia mematung dan membelalak begitu lebar. Istri? Laura menjadi istri Darren? Itu mustahil. Itu mustahil. Bagaimana bisa mendadak Laura menjadi istri Darren, padahal Winny sudah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan tahta itu. Keluarga Winny dan Darren sangat dekat, bahkan Anna, ibu Darren juga sudah merestui Winny menikah dengan Darren, apalagi sejak hadirnya Cia. Ya, Winny sudah bersabar sangat lama untuk dinikahi oleh Darren. Namun, mengapa buah dari kesabarannya malah seperti ini? "Kau bercanda kan, Darren? Kau bercanda kan?" lirih Winny dengan tatapan goyah. "Aku tidak bercanda, Winny. Aku sudah menikahi Laura dan mengambil tanggung jawab atasnya setelah Yusak meninggal." Winny menggeleng. "Tidak! Itu tidak mungkin. Dan dia setuju begitu saja? Dia terlalu murahan sampai langsung jatuh ke pelukan pria lain begitu suaminya meninggal!" "Jangan menghinanya, Winny! Dia bukan wanita seperti itu!" "Lalu wan

"Oh, selamat pagi, Laura! Kau sudah di sini rupanya." Winny tersenyum manis saat ia masuk ke ruang makan sambil menggendong Cia bersamanya. Rambut anak itu masih kusut dan wajahnya masih mengantuk, tapi sepertinya Winny memaksanya untuk ke meja makan. "Turun sini! Kau berat sekali!" Senyuman Winny menghilang saat menatap anaknya itu, tapi sedetik kemudian, ia kembali tersenyum menatap Laura. Winny sendiri masih memakai gaun tidurnya dan ia terus merapikan gaun tidurnya dengan gaya yang meminta perhatian. Dan benar saja, Laura pun akhirnya memperhatikan bagaimana tipis dan seksinya gaun tidur itu. Potongan dadanya rendah sampai dada Winny menyembul di sana, tali di dalam terlihat sangat tipis dan di bagian luarnya dibalut dengan cardigan yang menerawang di bagian bahunya, seolah sengaja menunjukkan betapa seksi bahu itu. Panjang gaun itu juga jauh di atas lutut. Seketika bayangan Darren membuka gaun tidur Winny dan mencium bahu wanita itu muncul di otak Laura sampai membuat Laura m

"Aku tahu kau tidak melakukan apa pun pada Cia tadi. Dia memang selalu takut pada orang asing, tapi saat moodnya baik, dia sangat menyenangkan." Darren melirik Laura saat mereka sudah duduk berdua dalam perjalanan ke kantor. Laura sudah menahan perasaannya sejak tadi. Ia tidak mau berangkat ke kantor bersama Darren, tapi pria itu memaksanya."Aku tidak apa. Semua anak kecil memang seperti itu," sahut Laura datar."Aku tidak menyalahkanmu." "Menyalahkanku juga tidak masalah. Tidak ada bedanya untukku. Malahan kalau kau benci padaku dan mengusirku, aku akan lebih cepat keluar dari rumah itu." Darren menggenggam setirnya erat-erat setelah mendengar jawaban Laura. Darren pun langsung menepikan mobilnya mendadak sampai Laura tersentak sendiri. "Apa? Mengapa kau menghentikan mobilnya di sini?" Darren sudah melepas sabuk pengamannya dan mencondongkan tubuhnya mendekati Laura. Wajah mereka sangat dekat sampai Laura membelalak lebar. "Apa yang kau mau, Darren?" "Aku tidak akan bosan men

Jantung Laura memacu kencang melihat Darwis mendekat. Darwis akan menciumnya. Laura tahu itu, tapi ia tidak mau. Dengan cepat, Laura pun menarik tangannya yang tadinya masih tergantung di bibir Darwis. "Ah, ini ... sudah selesai. Aku sudah selesai membersihkannya," ucap Laura yang langsung membalikkan tubuhnya memunggungi Darwis. Darwis yang ditolak pun langsung terdiam dengan kecewa, tapi tidak lama kemudian, ia tertawa canggung. "Ah, itu ... maafkan aku, Laura. Maafkan aku yang tidak bisa menahan diri. Setelah mengungkapkan perasaanku, mendadak bebanku seolah menghilang. Setidaknya aku tidak menyembunyikan perasaan ini lebih lama lagi." Laura mengangguk dan mencoba bersikap biasa saja. Ia tersenyum dan berbalik menatap Darwis lagi. "Aku yang seharusnya minta maaf, Darwis. Aku ... aku terkejut dengan perasaanmu, aku bersumpah tidak pernah menggodamu selama di rumah." "Aku tidak bilang kau menggodaku kan? Rasa suka itu muncul bukan karena digoda, Laura. Tapi aku melihat kelembu

Darren: "Aku lembur, kau akan pulang dengan sopir. Tapi masalah tadi, jangan terlalu terpengaruh dengan ucapan Cia. Dia hanya anak kecil. Dia butuh waktu untuk dekat denganmu." Laura membaca pesan Darren sore itu. Sejak tadi pagi mengantar Laura ke kantor, pria itu sudah meminta Laura sabar menghadapi Cia. Laura hanya mengangguk tanpa menanggapinya. Mungkin Darren juga masih gelisah dengan sikap anaknya, sampai sore ini, pria itu kembali mengirim pesan pada Laura. Laura hanya membaca tanpa membalasnya. "Kau tidak pulang, Laura?" Suara Nada terdengar dan membuat Laura langsung menyimpan ponselnya. "Iya, aku akan pulang setelah membereskan ini." Laura menunjuk berkasnya. "Ah, baiklah, aku pulang duluan ya." "Baiklah, sampai jumpa, Nada!" Laura melambaikan tangannya dan Nada pun pulang duluan. Laura sendiri membereskan barangnya lalu segera pulang dengan sopir, tanpa peduli lagi pada Darren yang masih lembur di ruang rapat. "Laura sudah pulang?" tanya Darren tidak lama setelah j