Semua Bab Identitas Tersembunyi Suami Kontrakku: Bab 11 - Bab 20

Anita berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Gaun biru malam yang elegan jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya, dan rias wajahnya menonjolkan kecantikan yang tak pernah ia tunjukkan sembarangan. Malam ini, dia bukan hanya tamu biasa. Dia adalah simbol perlawanan.Setelah memastikan semuanya sempurna, Anita mengambil tas kecil yang senada dengan gaunnya. Ia melangkah keluar dari rumahnya, menuju mobil yang terparkir. Mesin mobil dinyalakan, dan dengan kecepatan sedang, ia melaju menembus gelapnya malam.Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang terletak agak jauh dari pusat kota. Kontras sekali dengan latar hidupnya yang serba mewah. Tapi di sinilah, suaminya tinggal selama ini—di tempat yang penuh dengan ketenangan dan kerahasiaan.Anita turun dari mobil, mengedarkan pandangannya. Lampu teras menyala redup, tapi cukup untuk melihat sosok pria paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu. Wajahnya ramah, namun sorot matanya menyimpan ketajama

Mobil hitam yang dikendarai Morgan meluncur pelan memasuki area parkir tempat acara berlangsung. Di balik kemudi, ekspresi wajahnya tetap tenang, seperti tak terpengaruh oleh suasana formal yang sedang berlangsung di dalam gedung megah tersebut. Setelah memarkirkan mobil, Morgan turun lebih dulu. Dengan sikap sopan dan penuh wibawa, ia membukakan pintu penumpang. Anita keluar dengan anggun, gaun elegan yang dikenakannya bergerak mengikuti langkahnya. “Terima kasih, Morgan,” ucap Anita singkat. Morgan hanya mengangguk kecil. “Sama-sama.” Namun sebelum mereka berjalan lebih jauh, Anita menarik lengan jas pria itu, menghentikannya sejenak. “Morgan,” suaranya sedikit pelan tapi tegas. “Di dalam nanti, aku ingin kita terlihat seperti pasangan suami istri sungguhan. Jangan beri mereka alasan untuk curiga.” Morgan menatapnya sekilas, sebelum bibirnya membentuk senyum tipis. Tanpa berkata apa-apa, dia melingkarkan lengannya ke pinggang Anita, menarik wanita itu mendekat hingga nyaris

Hana membawa tangan Prayoga untuk ikut bersama dengan dirinya. Sampai mereka berdua sudah sampai di tempat duduk di mana ada Anita dan suaminya berada. "Hallo Anita," sapa Hana. Anita menoleh kearah Hana yang kini sengaja menggandeng tangan Prayoga dengan mesra. Sepertinya memang wanita itu sengaja untuk pamer padanya. Anita dengan lengan mengulurkan tangannya dan mengucapakan selamat pada Hana. "Selamat yah atas pertunangan kamu Hana, dan Prayoga."Hana membalas jabatan itu dengan sekilas. "Iya terimakasih banyak.""Siapa dia?" tanya Prayoga pada Hana karena ini baru pertama kali melihatnya. Anita yang mendengar itu pun langsung tersenyum dengan sinis. Sepertinya memang Hana sengaja tidak memberitahu dirinya. "Kamu tidak tahu siapa aku? Ah wajar yah ini pertama kali kita bertemu, perkenalkan namaku Anita Anindya Hartanto."Mendengar marga itu membuat Prayoga menoleh kearah Hana sekarang. "Kamu punya saudara Hana? Bukannya kamu bilang kalau kamu adalah anak tunggal keluarga Harta

Morgan tersenyum tipis, namun senyuman itu menyimpan ribuan rencana licik. Tempat ini gelap, tersembunyi di balik reruntuhan pabrik tua yang sudah lama ditinggalkan orang. Suara angin yang menembus dinding rusak seakan ikut membisikkan rahasia malam ini.Dia berdiri dengan tenang, dikelilingi oleh empat orang berpakaian hitam lengkap. Mata mereka waspada, namun tunduk penuh hormat pada satu sosok: Morgan.“Kalian cepat. Lebih cepat dari perkiraanku,” ucap Morgan sambil menyelipkan tangan ke dalam mantel panjangnya.“Sesuai perintah, Tuan. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuh Anda,” jawab salah satu pria yang berdiri paling depan.Morgan mengangguk, lalu merogoh saku dan mengeluarkan beberapa amplop cokelat tebal. “Ini untuk kalian. Gunakan sesuai kebutuhan. Tapi ingat…”Tatapannya menjadi tajam, suaranya menurun seperti bisikan maut. “Kalian tidak pernah bertemu denganku malam ini. Dan satu lagi, pastikan posisi kalian di rumah itu tetap aman. Jangan sampai Prayoga atau Umara

Pintu diketuk pelan. Anwar masuk membawa dua cangkir teh hangat. Ia meletakkannya di atas meja sebelum duduk di hadapan Morgan."Ini, minum dulu."Morgan mengangguk pelan. "Terima kasih."Beberapa detik hanya terdengar bunyi detak jam dinding. Hingga Anwar membuka suara, lirih tapi jelas."Aku melihat seseorang di pesta itu, kemarin. Gerak-geriknya sedikit aneh."Morgan langsung menoleh, menatap tajam ke arah Anwar. "Seseorang? Siapa?"Anwar tidak langsung menjawab. Ia menatap kosong pada uap teh yang mengepul, seperti sedang menimbang apakah ini saat yang tepat untuk mengungkit sesuatu."Entah hanya kebetulan... atau memang benar itu dia.""Dia siapa, Anwar?"Anwar menatap Morgan, kali ini dengan sorot mata yang sulit dibaca—ada luka lama di sana, tersembunyi di balik ketenangan wajahnya."Apa itu adalah kekasihmu dulu? Yang seorang pembantu... di rumahku?"Morgan diam. Nama itu belum disebut, tapi otaknya mulai bekerja cepat. Ia tahu Anwar pernah mencintai seorang janda. Bukan wanit