Dinda menyalakan kompor kecil di dapur mungil apartemen mereka. Aromanya menguar perlahan — bau tumis bawang putih dan cabai rawit, khas sarapan ala rumah. Di luar jendela, Jakarta baru mulai menggeliat. Tapi di dalam, pagi sudah penuh warna.Rayhan keluar dari kamar sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, dan kausnya kusut, tapi senyumnya langsung muncul begitu melihat punggung Dinda di dapur.“Aku suka banget bangun dengan bau masakan kamu,” gumamnya, lalu memeluk Dinda dari belakang.“Bukan karena masakannya enak, tapi karena kamu lapar,” Dinda menggoda, tapi wajahnya bersemu saat Rayhan mengecup pipinya pelan.Mereka sarapan berdua di meja kecil dekat jendela. Obrolan pagi mereka ringan — tentang klien kantor Rayhan yang sempat salah kirim dokumen, dan kelas menulis Dinda yang minggu ini mulai mengulas tema ‘puisi dari luka’. Tapi dari sorot mata mereka, semuanya terasa penuh — tak ada yang sia-sia, tak ada yang sekadar basa-basi.Sesudah sarapan, Rayhan bergegas bersia
Last Updated : 2025-07-15 Read more