Semua Bab Gelora Cinta Sang Mafia : Bab 21 - Bab 30

Antoni berdiri di balik tirai rumah sakit, menatap ke arah Raka yang masih tertidur lemah di ranjang. Meski luka tembaknya sudah dijahit dan kondisinya mulai stabil, hati Antoni justru makin gelisah. Bukan karena luka di tubuh Raka, tapi karena luka di hati yang mungkin lebih menyakitkan."Dia percaya semua ucapan Agnesia..." gumam Antoni lirih. Ia mengepalkan tangan. Sudah beberapa hari sejak insiden itu, dan sejak saat itu pula Agnesia memanfaatkan kelemahan Raka untuk menanamkan kebohongan. Dikatakannya Adelia pergi karena keinginannya sendiri. Dikatakan juga Adelia memilih Dimas.Antoni tahu semua itu bohong. Tapi ancaman Agnesia begitu nyata jika ia bicara, nyawa Raka yang jadi taruhan, ia bingung harus mulai dari mana untuk mengungkap kejatahan yang dilakukan Agnesia.Namun hari itu, saat ia diam-diam keluar dari rumah sakit untuk membeli makan siang, Antoni mendengar kabar mengejutkan. Seorang pria dari kubu Agnesia dikabarkan tewas ditembak di sebuah gudang tua. Saat menyelidi

Udara malam terasa lebih berat dari biasanya. Di rumah besar milik Dimas, suasana mulai menegang. Adelia duduk sendirian di dalam kamar, matanya menatap langit-langit yang kosong, tapi pikirannya penuh kekacauan. Sejak ia menyelipkan pesan itu ke dalam cucian, waktu seolah berjalan lambat. Ia tak tahu apakah pesan itu sampai, atau hanya dibuang bersama pakaian kotor yang tak berarti. Di luar kamar, langkah-langkah kaki terdengar berulang kali. Ia tahu, penjagaan makin ketat. Bahkan saat ia pura-pura ke kamar mandi, ada seorang pria berdiri di luar pintu. Dimas tidak lagi menyembunyikan kontrolnya. Ia mengekang terang-terangan. Tapi Adelia tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak saat hatinya yakin Raka masih hidup. Di tempat lain, Antoni duduk di ruang kerjanya, menatap peta digital rumah Dimas yang berhasil ia akses melalui jaringan satelit pribadi. Rumah itu besar, tapi ia mengenal struktur seperti ini. Beberapa titik bisa dimanfaatkan untuk masuk diam-diam, jika pergerakan di

Seminggu setelah Adelia dibebaskan dari rumah Raka, Antoni dan beberapa orang yang membantunya kini terlihat beraktifitas seperti biasa, sedangkan Raka masih dalam tahap pemilihan. Sinta memilih pergi ke supermarket untuk sekedar belanja atau cuci mata, sebenarnya ia tidak terlalu membutuhkan hal lain dalam hidupnya, ia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, tapi tentu saja ia butuh udara segar. Suasana supermarket itu awalnya biasa saja. Ramai, penuh lalu-lalang manusia. Tapi tak ada yang menyadari bahwa di antara tumpukan buah segar dan rak susu, ada kematian yang menanti. Sinta baru saja selesai memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam troli. Matanya terlihat lelah, tapi bibirnya tersenyum sebuah senyum yang dipaksakan untuk menyembunyikan segala kekacauan di hatinya. Ia belum pulih sepenuhnya dari luka akibat membebaskan Adelia waktu itu. Tapi demi membantu Antoni, demi menyelamatkan Adelia, ia rela kembali menantang bahaya. Seseorang mengamati dari kejauhan. Dimas. Deng

Adelia tidak tahu kapan Raka kembali ke apartemen setelah semalam pergi tanpa pamit.Adelia menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tidak ia sentuh. Aroma pahitnya menusuk hidung, tapi tak mampu mengusir rasa dingin yang menggigit hati. Raka duduk di seberangnya, matanya tertuju pada layar ponsel, tapi pikirannya entah ke mana. Sudah dua hari ini Raka bersikap dingin. Ia tak lagi menggenggam tangan Adelia, tak menatap matanya, bahkan sapaan pagi pun hanya disampaikan dengan helaan napas berat.“Mas, kamu marah sama aku?” suara Adelia nyaris berbisik.Raka tak langsung menjawab. Ia meletakkan ponselnya perlahan, lalu menatap Adelia dengan sorot mata kosong. Bukan marah. Tapi juga bukan sayang.“Enggak, Del. Aku cuma lagi banyak pikiran.”Jawaban itu tak cukup. Bagi Adelia, kalimat itu terasa seperti pisau kecil yang menggores halus namun menyakitkan. Ia tahu, ini bukan sekadar "banyak pikiran". Sikap Raka berubah sejak pesan-pesan misterius dari Dimas kembali masuk ke ponsel Raka. Ade

Cahaya senja hampir menghilang ketika bunyi deru mesin mobil hitam melaju cepat di tengah padatnya lalu lintas kota. Di balik kemudi, Raka Anggana menggenggam erat stir, tatapannya tajam menembus kaca depan. Peluh mengalir di pelipisnya, bukan karena panas, melainkan karena ancaman yang kini semakin nyata. Sebuah SUV gelap menyalip dari kanan. Dari dalam, bayangan bersenjata muncul. Raka reflek membanting stir ke kiri, membuat mobilnya berbelok tajam ke gang sempit. Dentuman peluru menghantam lampu jalan di belakangnya, brak! brak!, pecahannya menghujani aspal. “Aku dikhianati seseorang dari dalam,,” gumamnya pelan, rahangnya mengeras. Agnesia bekerja sama dengan Dimas bukan hanya menjauhkan Adelia darinya, tapi juga menggelapkan senjata ilegal. Informasi penggelapan senjata yang dituduhkan padanya telah menyebar. Bukan hanya kepolisian yang kini mengincarnya, tapi juga mafia dari Timur Tengah, kelompok paling brutal yang tak mengenal ampun jika merasa dibohongi. Raka tahu dirin