All Chapters of Gelora Cinta Sang Mafia : Chapter 51 - Chapter 60

Sudah seminggu sejak Adelia kembali ke rumah besar keluarga Anggana. Dalam waktu singkat, segalanya berubah. Senyum tipis sering terlihat di wajah Adelia, seolah semua luka mulai mengering perlahan. Namun pagi itu, sesuatu terasa janggal. Saat Adelia mengantar Raka ke garasi, tubuhnya mendadak limbung. Wajahnya pucat pasi, napasnya memburu, dan sebelum sempat berkata apa pun ia jatuh pingsan dalam pelukan Raka. "Adelia!" seru Raka panik, menangkap tubuh istrinya yang lemas. Peluh dingin membasahi kening perempuan itu. Ia tampak sangat tak berdaya. Raka langsung membatalkan semua urusan kantor. Ia menggendong Adelia masuk kembali ke dalam rumah, sementara Antoni segera diperintahkan menelepon dokter keluarga. Beberapa menit kemudian, dokter pribadi keluarga Anggana datang. Setelah memeriksa Adelia dengan saksama, dokter itu menatap Raka dan tersenyum tipis. "Selamat, Tuan Raka. Adelia sedang mengandung lima minggu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya kelelahan ringan. Saya a

Langkah kaki Antoni terdengar tergesa saat ia membuka pintu kamar tanpa mengetuk. Tatapannya langsung tertuju pada Adelia yang terbaring lemah. "Ada apa dengan dia?" suara Antoni serak, penuh kekhawatiran. "Dia pingsan," jawab Raka singkat. Antoni mendekat, menatap wajah Adelia dengan cemas. Lalu ia beralih menatap Raka dalam-dalam. "Raka... jangan pernah meragukan Adelia," ucap Antoni serius, suaranya terdengar berat. "Saat kau melihat kebenaran yang sebenarnya, mungkin kau akan menyesal. Penyesalan yang terlambat." Raka mengerutkan alis, menoleh cepat. "Apa maksudmu?" Antoni menarik napas dalam. Ia tahu, jika bukan sekarang, Raka akan semakin tenggelam dalam fitnah yang disebarkan oleh Agnesia. "Adelia bukan perempuan yang mudah menyerah pada rayuan lelaki lain," tegas Antoni. "Kau tahu, dia rela menjual kehormatan demi menyelamatkan adiknya tapi dia tidak pernah menyentuh siapapun setelah itu. Bahkan dia tidak pernah menyentuh Dimas, apalagi menyukainya." Raka membu

Adelia bangun perlahan dari tempat tidurnya. Matahari pagi menyusup dari sela tirai jendela, menyapu lembut wajahnya yang masih setengah mengantuk. Ia memalingkan wajah dan mendapati suaminya, Raka, tertidur lelap di sampingnya. Tubuh lelaki itu hanya tertutup selimut hingga pinggang, dengan dada bidang yang tampak tenang saat bernafas. Adelia tersenyum kecil, mengingat malam tadi. Malam yang hangat dan penuh rindu. Mereka telah melepas segala gundah dan luka yang sempat mengusik hubungan mereka. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa utuh. Dicintai. Dilindungi. Perlahan, ia turun dari ranjang, mengambil handuk, dan berjalan ke kamar mandi. Suara air mengalir memenuhi keheningan pagi itu, membasuh sisa-sisa malam penuh cinta. Tak lama kemudian, Adelia keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, sebagian menjuntai di bahu, sebagian lagi meneteskan sisa air ke bajunya. Ia berjalan ke arah Raka yang kini sudah membuka mata dan tersenyum lebar. Tanpa ragu, pria itu me

Ternyata setelah ia memandangi wajah pria itu, jelas sekali bahwa itu bukan Dimas. Wajahnya memang mirip sekilas, namun semakin lama ia perhatikan, perbedaan itu tampak nyata hidungnya lebih pesek, sorot matanya kosong, dan kulitnya tampak lebih kasar karena terlalu sering terpapar alkohol. Agnesia mundur perlahan. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut mulai menggerogoti dirinya. Apalagi di dalam rumah itu hanya ada tumpukan botol alkohol kosong, bau menyengat, dan lantai yang lengket oleh cairan yang entah apa. Rumah itu lebih pantas disebut sarang pecundang ketimbang tempat tinggal manusia. Mata pria itu merah menyala, seperti binatang buas yang baru saja dibangunkan. Rambutnya acak-acakan, tubuhnya sempoyongan, tapi tatapannya menancap kuat ke arah Agnesia. Ia sedikit menyipitkan mata, mencoba fokus. “Siapa kau?” ucapnya dengan suara serak yang menusuk telinga, masih setengah sadar karena mabuk. Agnesia menahan napas. Detik itu juga, ia langsung memutar tubuh dan lari kel

Saat Raka dan Antoni sedang duduk di ruang kantor yang tertutup rapat, layar CCTV menampilkan seseorang dari jaringan luar negeri yang dikenal keras dan tak bisa ditebak. Seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tipis dan sorot mata tajam, Ares. Tangan kanan dari klien Turki yang dikenal kejam dan tidak punya hati. Sebuah pesan terenkripsi masuk ke sistem mereka. "Lokasi baru. Hanya empat orang. Tidak boleh ada jejak." Raka membaca cepat, kemudian menoleh pada Antoni. "Persiapkan mobil. Kita harus gerak sekarang. Aku nggak mau transaksi ini berubah jadi pembantaian kayak dulu." Antoni hanya mengangguk, lalu berdiri. "Siap. Aku juga udah siap kalau terjadi kemungkinan terburuk, tapi kita harus tetap waspada." ucap Antoni sambil mengikuti apa yang dikatakan Raka. Lokasi transaksi gelap kali ini berada di sebuah kawasan industri mati, jauh dari pemukiman, penuh dengan bangunan tua dan pipa-pipa karat. Mereka tiba di sana hanya beberapa menit sebelum Ares muncul bersama dua orang