Semua Bab Liontin Pemikat Hasrat: Bab 31 - Bab 40

“Ayo Aizar, kamu pilih saja pakaian dan jas yang kamu suka,” ucap Cempaka saat berada di dalam departemen store.“Aku terserah Mama saja yang pilihkan,” ucap Aizar sambil matanya fokus pada tiga wanita berpakaian seksi yang sedang berbelanja tidak jauh darinya.Cempaka tersenyum melihat gelagat Aizar yang melirik gadis-gadis cantik itu. Tentu saja ia memaklumi, selama tinggal di desa pasti sehari-hari ia hanya melihat pepohonan dan hewan peliharaan, kini setelah berada di kota dia pasti merasa gembira melihat para wanita cantik. Cempaka tidak ingin merusak kesenangan putranya, bahkan detik itu di hatinya mulai timbul keinginan agar Aizar bisa cepat menemukan jodoh. Saat Cempaka sedang sibuk mencari pakaian, Aizar malah mendekati ketiga gadis itu dengan pura-pura memilah-milah pakaian yang ada tergantung di dekat mereka.Melihat gelagat Aizar yang sedang curi-curi pandang, ketiga gadis itu mulai saling berbisik-bisik dan tertawa kecil dengan menutupi mulut mereka dengan telapak tangan

Setelah berbicara dengan Nek Ariyanti, Aizar masuk ke dalam kamar untuk menyimpan barang belanjaan serta berganti pakaian. Tidak lama kemudian ia keluar kembali, niatnya ingin berjalan-jalan melihat seisi rumah keluarganya yang sangat luas itu. Saat pergi ke halaman belakang, Aizar merasa senang melihat kolam renang dan sebuah taman bunga yang di tengahnya ada sebuah gazebo terbuat dari kayu dan bambu. Detik itu Aizar teringat pondok kayu tempat tinggalnya di desa..Saat masuk ke dalam gazebo itu, tampak tempat itu dipenuhi debu. Pasti tempat ini sudah lama tidak digunakan, pikir Aizar. Aizar berinisiatif ingin menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahatnya. “Aizar, apa yang kamu lakukan di situ?” tanya Cempaka saat mendapati Aizar sedang berada di dalam gazebo.“Aku sedang membersihkan saung ini, Mah.... Bolehkan tempat ini sewaktu-waktu jadi tempatku beristirahat, karena mengingatkan tempat tinggalku saat di desa,” ujar Aizar sambil membersihkan debu-debu yang menempel di lan

“Aku pikir kamu mau pergi ke kamar, makanya aku duduk di sini.” ucap Aizar sambil beralih dari kursi malas kepunyaan Debby.“Siapa bilang aku mau ke kamar? Kalau makan buah perlu ini, paham?” ujar Debby sambil menunjukan garpu kecil di tangan yang baru saja diambilnya dari meja makan. “Oh iya, aku lupa... di dusun sana mana ada garpu, pasti benda sepele seperti ini pun asing buat kamu, kan?” tambahnya sambil memandang sinis pada Aizar yang kini duduk di sampingnya.“Iya, kamu benar, adikku... aku memang terbiasa menggunakan tangan kalau makan,” ucap Aizar mengiyakan tanpa merasa tersindir dengan ucapan adiknya.“Sudah aku bilang, jangan panggil aku adik. Aku nggak mau ada seorang pun yang tahu kalau aku punya kakak yang pernah hidup dan besar di pedalaman. Bikin malu saja...” tegas Debby memarahi Aizar.“Iya.. iya, maaf... aku hanya keceplosan saja. Tapi, biar bagaimanapun aku akan memperlakukan kamu sebagai adikku, walaupun kita berbeda ayah, tapi garis keturunan kita sama berasal da

Aizar masuk kembali ke dalam rumah, setelah cukup lama ngobrol dengan penjaga rumah. Saat melintas ke ruang makan, tampak di atas meja panjang mulai diletakkan begitu banyak makanan dengan bentuk dan warna yang selama ini belum pernah dilihatnya. Semua tampak lezat dan mengundang selera. “Aizar cepatlah ganti pakaianmu dengan baju dan celana yang tadi kamu beli. Malam ini kamu harus tampil rapi dan berkelas sebagai bagian dari keluarga besar Prambudi,” ujar Cempaka tampak sibuk dengan para pembantu rumah menata makanan di atas meja.“Baik, Mah... aku akan berpenampilan sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan Mama,” ucap Aizar coba meyakinkan mamanya. Lalu, ia bergegas pergi ke dalam kamar untuk berganti pakaian.Di dalam kamar, Aizar tampak senang mematut diri di depan cermin. Ia bertingkah selayaknya bina raga yang memamerkan otot-otot yang ada di lengan dan tubuhnya. “Dengan wajah lumayan ganteng dan tubuh berotot seperti ini, aku bisa pastikan dalam waktu beberapa hari saja

Ruang makan yang awalnnya penuh suasana menyenangkan seketika menjadi hening dan tegang dengan perdebatan Kek Prambudi dan putra bungsunya, Dharma.“Biar aku yang jelaskan,” ucap Nek Ariyanti memecah kesunyian. “Dharma, jauh-jauh hari Papi sudah menjelaskan tradisi keluarga Papi, yang berhak meneruskan perusahaan keluarga adalah anak pertama laki-laki, atau cucu pertama laki-laki. Jadi, sudah sepantasnya Aizar lah yang paling berhak. Mengapa kamu mempermasalahkan lagi hal ini?” tambahnya menegasi putranya.“Aku tahu itu, Mih... tapi setelah bertahun-tahun Aizar menghilang tanpa kabar, bukankah aku sudah bicarakan pada Mami dan Papi kalau aku ingin mempersiapkan Nikko untuk menjadi penerus pimpinan perusahaan keluarga. Mami dan Papi mengiyakan saja kan saat itu? Termasuk saat Nikko aku kirim keluar negeri untuk kuliah. Masak sekarang rencana itu tiba-tiba saja berubah gara-gara kehadiran cucu dari menantu yang kalian tidak inginkan ini?” ucap Dharma coba mengusik keberadaan Aizar.“Dh