Pagi itu, dunia seolah runtuh di hadapan Aruna.Ia duduk di meja kerjanya dengan wajah pucat dan mata sembab, tubuhnya lemas seperti kehilangan tulang penopang. Di layar ponsel, huruf-huruf yang baru saja ia ketik terlihat kabur, berlapis air mata yang enggan jatuh.Sudah berkali-kali ia menulis pesan, menghapus, menulis lagi. Dadanya sesak, napas pendek, seperti ada batu besar menekan paru-paru. Jemarinya gemetar, hingga akhirnya, dengan sisa keberanian yang rapuh, ia mengetik kalimat itu:“Pak Leonardi, saya mohon izin cuti sehari. Kondisi kesehatan saya tidak memungkinkan bekerja hari ini.”Tangannya bergetar hebat saat menekan tombol kirim.Detik-detik setelahnya terasa seperti seratus tahun. Ia menunggu, menahan napas, menatap layar kosong dengan hati berdebar tak karuan. Lalu, getaran ponsel membuat jantungnya hampir copot.Balasan masuk.“Disetujui. Tapi ingat: kau akan kembali.”Kalimat sederhana. Namun di kepala Aruna, kata-kata itu berwujud tatapan Leonardi—gelap, menusuk, se
Last Updated : 2025-07-12 Read more