Beberapa hari berlalu. Luka di punggung Rowan berangsur membaik, meski geraknya masih terbatas. Setiap pagi Ana setia menemaninya, mengganti kain perban, membantu mengangkat cawan air, bahkan sekadar duduk membaca dengan suara lembut agar ayahnya tidak merasa sepi.Hari itu, cahaya matahari sore menembus jendela, memantulkan kilau hangat di ruang peristirahatan. Rowan menatap putri yang sejak awal tak pernah meninggalkannya. Sorot matanya dalam, seperti hendak menembus lapisan waktu.“Ana,” suara Rowan pelan, nyaris serak, “kau tak perlu terus di sini, aku sudah cukup merepotkanmu.”Ana menggeleng, jemarinya menggenggam lengan ayahnya erat. “Aku tidak merasa direpotkan. Aku hanya berada ingin di sisimu.”Rowan terdiam, senyum samar terbentuk di bibirnya. Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara tegas meski masih lemah, “Ada hal yang harus kau tahu. Soal perkataan waktu itu,”Ana menatapnya penuh tanda tanya. “Apa maksudmu, Tuan Rowan?”Mata Rowan bergetar, seperti menahan b
Huling Na-update : 2025-09-29 Magbasa pa