Alya perlahan melepaskan pelukan Revan. Matanya menatap Revan lama, ada air bening di sudutnya, bergetar tapi tak sempat jatuh. Dengan suara serak, ia berbisik, “Kamu kan pernah bilang, kalau aku ini cuma adik tirimu, Van.” Kata-kata itu keluar pelan, tapi tajam. Revan menatap Alya, lama, matanya bergetar halus. Ia seperti kehilangan kata. Bahunya turun perlahan, dan dengan suara nyaris pecah, ia menggeleng pelan. “Nggak, Alya,” katanya lirih, tapi tegas. “Kamu punyaku.” Alya terdiam. Dadanya sesak, bukan karena takut, tapi karena kalimat itu terlalu dalam, terlalu nyata. Hatinya seperti ditarik ke dua arah, antara logika yang terus berteriak agar pergi, dan perasaan yang hanya ingin tetap di sana, bersandar di dada yang sama yang barusan ia lepaskan. Alya tersenyum kecil. Senyum yang lebih mirip luka daripada bahagia. Matanya menatap Revan, kali ini tanpa gemetar, tanpa air bening di sudutnya, hanya tatapan lelah. “Nggak, Van...” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “A
Last Updated : 2025-10-17 Read more