All Chapters of Kembalinya Sang Mantan Pasukan Elite: Chapter 51 - Chapter 60

Wajah Zea tampak memperlihatkan kekecewaan saat melihat Alex begitu saja pergi. Wajahnya tampak lesu, belum lagi bocah itu harus terus menerima hinaan yang memang bukan seharusnya untuknya. Namun, apa dayanya. Walaupun berusaha untuk mengelak pun tetap saja menjadi yang tertuduh.Zea melangkah gontai menyusuri trotoar setelah masalahnya selesai. Mungkin jika polisi wanita itu tidak membantu membujuk sang orang tua anak laki-laki itu, maka masalahnya akan bertambah panjang.Saat mendekati gang ke arah rumahnya Zea bertemu dengan Alex. Bocah kecil itu tiba-tiba meneteskan air mata. Terlihat dia begitu sangat sedih. Alex sendiri tidak tahu harus bagaimana menolongnya. Bagaimana pun juga Alex tidak ingin terlibat jauh pada masalah Zea dan tentunya Alex bukan orang tua kandung dari Zea, jadi keputusan Alex sudah benar."Aku tahu paman membenciku hiks ...." Menjeda dengan isak tangis yang sesenggukan. "Tapi tidak seharusnya paman memperlakukan aku seperti itu," sambungnya dengan nada kecewa

Alex membanting tubuhnya ke kursi kemudi. Ada rasa kesal dan bahkan marah pada Alan, karena merasa bahwa Alan telah mempermainkannya. Lama-lama Alex tertidur saat menunggu pesan balasan dari Alan. Bisa dibilang Alex menunggu balasan dari Alan sekitar satu jam.Tiba-tiba Alex terbangun karena ketukan pada kaca mobilnya. Tiga kali ketukan akhirnya menyadarkan Alex. "Alex ... Alex ...," panggilnya dari luar.Alex menggelengkan kepalanya dan memijak pangkal hidungnya, lalu Alex membuka pintu kaca mobil."Lama sekali kau ini, huh!" gerutu Alan. Alis kanan Alex terangkat. "Kenapa justru kau malah kemari?" lanjutnya.Alan menggaruk kan kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir dan tertawa. Terlihat sekali jika dia tidak rasa bersalah pada diri Alan."Masuklah!" Alex menyuruh Alan untuk masuk ke dalam mobilnya."Tidak. Kau yang harus keluar," pinta Alan. Tatapan Alex seolah meminta sebuah jawaban pada Alan. Justru Alan malah memainkan kedua alisnya.Alex langsung memalingkan wajahnya saat pi

Insiden yang bukan sembarang insiden. Satu yang patuh akan perintah, sedangkan yang satu lagi punya kesabaran setipis tisu dibelah tujuh.Alex yang selalu siap mendengarkan aba-aba dan selalu siap mengeksekusi jika sudah diperintahkan, tapi kali itu justru dia merasa dilema. Bukan karena sebab, tapi karena Brandon yang memaksa. Brandon sendiri bergerak tidak sesuai arahan dari atasan. Melainkan dia bergerak dengan perintah yang ada di dalam kepalanya.Alex sendiri sudah mengunci target, begitu juga dengan Brandon. Namun, sejatinya pemikiran Alex dan Brandon tidak sejalan dan mereka tidak bisa bekerjasama dalam tim.Keadaan yang sudah mendesak membahaya sandera yang pada saat itu digunakan pelaku sebagai tameng."Alex, monitor!" Pesan suara didengar oleh Alex dan otomatis juga oleh Brandon."Target terkunci!' balas Alex."Tunggu perintah, baru eksekusi. Jangan abaikan keselamatan sandera!" Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Brandon yang dia sendiri sudah mengunci dan bersi

Alex masuk ke dalam rumah seolah-olah dia tidak mendengarkan apapun dari percakapan antara Alan dan John, karena memang Alex masuk ke dalam rumah setelah 30 menit berlalu. Akan dan John sempat terkejut saat melihat Alex yang baru saja masuk ke dalam. Keduanya saling pandang. "Dari mana?" tanya Alan yang menangkap sebuah senjata tergantung di bahu Alex. "Berburu!" sahut Alex datar tanpa menoleh. Alan dan John kembali saling pandang. "Sepagi ini?" Kembali Alan bertanya. Alex menoleh, lalu menatap jam dinding. Tersenyum tipis. "Kau lihat sudah jam berapa ini?" Alan menelitik dan tertawa. "Matahari sudah seperempat jalan, tapi kau masih bilang seperti itu. Kau masih mengantuk?" lanjut Alex. "Aku kira kau sudah pulang, Lex?" tanya John. Alex membalikkan badannya setelah menaruh senjata milik Alan di tempat semula, lalu pria itu melangkah dan duduk berkumpul dengan Alan dan John. "Tidak. Aku belum ingin pulang, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan," tukas Alex

Keduanya saling pandang saat mendapatkan sebuah gambar di laptop milik Alan. Seolah keduanya bisa membaca pikiran satu dengan yang lainnya dan keduanya juga sudah yakin jika Alex pasti pergi sana."Tidak mungkin kan jika Alex mencarinya!" Alan memakai jaket dan menyelipkan Glock 17 ke bagian belakang bajunya. Alan membawanya hanya sekedar untuk berjaga-jaga jika nanti terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Mengingat siapa Alex yang sebenarnya."Mungkin saja dan bisa jadi. Kau masih ingat perkataan Alex pada waktu itu." John membuka pintu mobilnya dan menatap di seberang mobilnya yang juga pada saat itu hendak masuk ke dalam mobil."Apa ini yang dimaksud 'urusan penting'." Alan menekan kata-kata itu. "Atau——mungkinkah Alex mendengar percakapan kita pada saat itu?" Alan menatap John yang sudah menyalakan mesin mobilnya."Menurutmu apa? Yang bisa seorang Alex lakukan dengan sebuah alasan yang jelas dan jelas," timpal John."Damn it! Kau sungguh mengerikan, Lex!" Alan serasa mengumpat pad