Angin malam menusuk kulit seperti pisau kecil ketika Ravika menuntun Arven menuruni lereng di belakang jembatan. Di kejauhan, lampu-lampu polisi masih berkelap-kelip, memantul di permukaan sungai yang hitam pekat. Setiap langkah membuat lutut Ravika bergetar, tapi ia tak berani berhenti.“Sedikit lagi, Arven… tahan ya,” bisiknya, suara serak oleh debu dan asap.Arven menunduk, napasnya tersengal. Lengan kirinya berlumur darah, tapi ia masih berusaha tersenyum. “Saya… nggak papa, Bu,” ujarnya lirih. Panggilan itu—“Bu”—sudah jarang ia ucapkan, tapi malam ini meluncur begitu saja, di antara rasa sakit dan ketakutan.Ravika menggigit bibir. Ia tahu luka itu dalam. Ia tahu Arven hanya berusaha menenangkannya, bukan sebaliknya. Ia memeluk bahu pemuda itu, menuntunnya masuk ke sebuah gudang tua yang sudah lama kosong.Di dalam, udara berbau karat dan kayu lapuk. Mereka menjatuhkan diri ke lantai berdebu.“Lepas jaketmu,” perintah Ravika pelan. “Aku harus lihat lukanya.”Arven menatapnya, mat
Terakhir Diperbarui : 2025-11-02 Baca selengkapnya