Air sungai masih bergemuruh di telinganya ketika Ravika terhuyung, berusaha berdiri. Tubuhnya basah kuyup, napasnya terengah. Kabut pagi menutupi pandangannya, tapi ia terus menatap air yang mengalir deras — seolah di sana, di antara pusaran itu, Arven masih ada.“Arven!” suaranya parau, nyaris tenggelam oleh arus. “ARVEN!”Tak ada jawaban.Hanya suara burung gagak dari jauh dan desir daun yang digerakkan angin dingin.Ravika menatap sungai itu, lalu mulai turun lagi, air sampai ke lututnya. Ia menyusuri tepian, memanggil, menjerit, berharap ada tangan yang muncul dari air, ada napas yang menjawab. Tapi yang datang hanya hening, seperti dunia menolak mengembalikan apa yang sudah diambil.Air mata bercampur hujan, dingin menyatu dengan ketakutan.“Jangan begini, Arven… jangan pergi kayak gini,” bisiknya, nyaris seperti doa.Langkahnya goyah. Setiap kali melihat bayangan di air, hatinya berdebar — tapi setiap kali mendekat, hanya dedaunan atau ranting hanyut.Waktu terasa beku. Dunia se
Last Updated : 2025-11-12 Read more