Semua Bab Perangkap Cinta TUAN CEO : Bab 101 - Bab 110

Perkataan itu cukup membuat Kevin terdiam sesaat. Ia tahu, sejak awal Aurora selalu bersikap jelas. Tidak menggantungkan harapan, tidak memberi celah. Tapi tetap saja, mendengarnya secara langsung seperti ini, di tengah suasana yang sempat melunak, menimbulkan rasa perih yang tidak bisa dihindari.“Baiklah,” jawab Kevin akhirnya, mengangguk perlahan. “Aku mengerti. Dan aku akan berusaha menghormati batas itu.”Aurora menarik napas lega. “Terima kasih, Kevin. Aku hanya tidak ingin memberikan kesan yang salah. Situasi kantor saat ini sudah cukup rumit.”Kevin menatapnya sejenak, lalu tersenyum, kali ini lebih tulus meski diselipkan sedikit kekecewaan. “Kamu benar. Aku kadang lupa kalau kamu bukan bagian dari dunia yang mudah dimainkan.”Aurora hanya menunduk kecil. Ia tahu keputusan ini mungkin menyakiti hati Kevin, tapi ia tidak ingin memberi harapan jika hatinya masih terus bergelut dengan banyak hal lain.“Kita turun bareng?” tanya Kevin, berusaha kembali normal.Aurora mengangguk. “

Valery menghela napas, mencoba meredam kecanggungan yang menguap di antara mereka. Ia menyentuh gelasnya, lalu menatap Rafael dengan ekspresi yang lebih lembut. “Rafael, dengarkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti siapa pun, termasuk Aurora. Aku hanya... khawatir padamu.”“Khawatir?” Rafael mengulang kata itu dengan nada sinis, bibirnya tertarik tipis. “Atau cemburu?”Valery tercekat sejenak, tapi ia dengan cepat menutupi kekagetannya dengan senyuman kaku. “Kau tahu aku bukan orang yang mencampur adukkan perasaan dan pekerjaan.”“Tapi hari ini, kamu sudah melakukannya,” Rafael menjawab datar, lalu meletakkan alat makannya perlahan. “Aku pikir ini cukup.”Valery menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu?”Rafael berdiri, merapikan jasnya sambil memandang langsung ke mata Valery. “Ini makan siang terakhir kita sebagai teman. Mulai sekarang, jika kita bertemu, itu hanya untuk urusan pekerjaan. Aku ingin hubungan kita tetap profesional, tidak lebih.”Valery tercekat. Ia tampak ingin menga

Mereka duduk di bangku taman kota, menikmati pemandangan sore dengan es krim di tangan. Di kejauhan, matahari mulai turun perlahan, menciptakan semburat jingga di langit. “Kamu pernah begini sebelumnya?” tanya Aurora, menatap langit. Rafael menggeleng. “Dulu hidupku terlalu penuh tekanan. Jalan-jalan itu artinya rapat di luar negeri atau makan malam dengan investor.” Aurora memiringkan kepala, memandangnya. “Kamu butuh lebih banyak momen seperti ini.” “Aku tahu. Dan aku ingin semua itu... bersamamu.” Aurora tak menjawab. Ia hanya memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepala di bahu Rafael. Rafael menoleh pelan, menatap wajah Aurora dari samping. Dengan lembut, ia membelai pipi Aurora dan mencium bibirnya perlahan. Hangat, manis, dan penuh rasa. Aurora membalas ciuman itu dengan lembut, tanpa kata. Matahari sepenuhnya tenggelam di ufuk barat saat mereka berdiri, bersiap kembali. Sore yang sederhana itu, menjadi kenangan indah yang tak akan mereka lupakan. Sebuah pelarian kecil dari

Hari itu, langit begitu cerah, seolah memantulkan suasana hati Rafael dan Aurora yang tengah diliputi semangat baru. Setelah sarapan ringan bersama dan berangkat dalam mobil yang sama, keduanya tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Meski suasana kantor masih belum sepenuhnya ramai, kehadiran mereka segera menarik perhatian beberapa staf yang telah datang lebih dulu.Rafael turun lebih dulu dari mobil, membuka pintu untuk Aurora dengan sopan, dan saat tangan Aurora menyambut uluran tangannya, Rafael tidak segera melepaskannya. Justru menggenggamnya erat dengan hangat, seolah mengatakan bahwa ia tak ingin terpisah terlalu cepat. Aurora sempat melirik sekitar, sedikit ragu, namun saat melihat Rafael menatapnya tenang, ia pun membalas genggaman itu dengan senyum malu-malu.Mereka berjalan berdampingan melewati lobi, tangan mereka tetap saling bertaut. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi usaha untuk menyembunyikan. Keduanya tampak lebih terbuka, lebih percaya diri dengan hubungan ya

Aurora membeku.Lelaki itu tampak tergesa-gesa, menyibak udara lobi rumah sakit dengan raut panik, sebelum berbelok menuju arah IGD. Aurora yang berdiri tak jauh dari sana segera bersembunyi di balik dinding, matanya terus mengikuti jejak langkah pria yang pernah menghancurkan seluruh fondasi hidupnya.‘Kenapa dia ada di sini?’ pikir Aurora cemas. Rasa ingin tahu perlahan mengalahkan ketakutannya.Dengan langkah pelan dan detak jantung yang semakin cepat, Aurora mengikuti dari kejauhan. Lorong menuju ruang gawat darurat terasa panjang dan sunyi, hanya terdengar deru mesin infus dan bunyi detak monitor jantung dari beberapa kamar.Hingga akhirnya ia melihat Edgar berhenti di depan sebuah bilik darurat.Di sana, seorang wanita paruh baya dengan wajah kelelahan duduk di kursi, memegangi tangan seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar delapan tahun, yang terbaring lemah di ranjang. Wajah sang anak pucat, bibirnya kering, dan tubuhnya seperti menahan rasa sakit yang teramat sa