All Chapters of Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia : Chapter 151 - Chapter 160

Di tengah kesibukannya dengan novel dan pengerjaan film layar lebar, Bumi tetap teguh menjaga satu janji: menyelesaikan proyek film dokumenter untuk kementerian. Baginya, dokumenter adalah nafas lain dari kerja kreatifnya—lebih dekat ke tanah, lebih akrab dengan wajah-wajah sederhana yang jarang tersentuh sorot kamera.Selepas acara talk show terakhir, ia bersama tim kecilnya kembali menyusuri pedalaman. Mereka merekam, menyimak, dan menyuarakan denyut hati masyarakat yang hampir tak pernah masuk berita. Lebih dari sepekan mereka tinggal di sana, tidur di balai bambu, mandi di sungai, makan bersama penduduk. Dan hari ini, tiga hari sebelum proses casting Bubat dimulai, Bumi bersama tiga kru tetapnya—Dita, Rivan, dan Andra—sudah tiba di Jakarta. Film dokumenter itu selesai, siap mereka serahkan.Di ruang tunggu kementerian, mereka duduk bersebelahan, masing-masing dengan raut lelah sekaligus puas.“Ini film dokumenter terakhir

Studio audisi digelar di sebuah gedung yang luas, dengan beberapa ruangan yang telah disewa khusus oleh Bumi dan timnya. Segala sesuatu telah dirancang dengan cermat: pencahayaan hangat, meja juri berderet rapi di satu sisi, kursi-kursi peserta di sisi lain, hingga jadwal dan rincian kecil lainnya. Bumi tidak bekerja sendiri. Ia membawa tim yang benar-benar profesional, meski sebagian besar bukan dari rumah produksi ternama—mereka dipilih karena kemampuan dan dedikasinya.Selama beberapa hari, Bumi duduk di tengah jajaran juri bersama tim kreatifnya. Antusiasme peserta begitu tinggi. Mereka datang bukan hanya dari Bandung, tapi hampir seluruh Pulau Jawa; beberapa bahkan berasal dari pulau lain. Mereka yang berasal dari luar Bandung, sengaja mengejar audisi ini karena mereka menyangka bahwa audisi hanya diadakan di kota Bandung, tidak mungkin ada tahap berikut di kota lain. Sita selalu hadir di dekat Bumi. Ia tidak duduk di sampingnya, melainkan

“Sitaaa...” seru Kirana begitu masuk ke dalam ruangan. Ia langsung memeluk Sita dengan hangat. “Gak nyangka ketemu lagi. Oya, aku nonton lho waktu kamu di TV.”Sita tersenyum, menepuk pelan punggung Kirana. “Aku tadi sempat memperhatikan audisimu dari balik pintu,” ucapnya ringan, tapi penuh ketulusan. “Dan benar dugaanku, kamu pasti terpilih. Para juri tuh dari kemarin sudah gelisah karena belum nemu Dyah Pitaloka.”Kirana tersipu, jemarinya saling meremas di pangkuan. “Aku... aku gak nyangka sama sekali. Aku kan bukan orang film, bukan juga orang teater.”Sita terkekeh, matanya berbinar lembut.Kirana menatap wajahnya sejenak. Ada sesuatu yang sulit didefinisikan dari Sita: kecantikannya tidak mencolok, tapi menawan. Sikapnya cuek, namun aura intelektual terpancar kuat. Unik, istimewa... dan, entah bagaimana, Kirana merasa ia bisa menebak bahwa Sita berasal dari keluarga yang berada. Yang membuatnya makin

Senja hampir habis ketika satu per satu juri meninggalkan ruangan audisi. Meja besar yang tadi penuh catatan, gelas kopi, dan wajah serius kini tampak lengang. Para OB yang disewa Bumi langsung bekerja, membereskan sisa keramaian. Kursi kembali berbaris rapi, gelas-gelas terkumpul, lantai dan karpet bersih dari jejak seharian penuh ketegangan.Kini tinggal Bumi, Sita, Kirana, dan Pandu di ruang yang sunyi itu.“Apakah kita pulang sekarang?” tanya Kirana. Meski jelas lelah, matanya masih menyimpan semangat. “Entah kenapa rasanya belum ingin pulang.”Pandu duduk agak miring, tidak menanggapi. Wajahnya masih seperti menimbang kenyataan barusan. Bumi berdiri di dekat jendela, memperhatikan langit yang makin tenggelam dalam gelap.“Santai saja kalau masih kaget dan belum ingin pulang,” ucap Bumi, suaranya tenang namun tegas. “Hari ini kita menutup audisi dengan sesuatu yang tak terduga. Kirana, Pandu... kalian be

Hari-hari setelah audisi terasa seperti dunia baru bagi Bumi. Begitu Franz tiba di Indonesia, suasana semakin berubah drastis. Yang tadinya hanya sekadar wacana, kini menjadi mesin raksasa yang mulai bergerak.Franz membawa tim yang tidak bisa dikatakan kecil dari Eropa, orang-orang yang sudah berpengalaman dalam produksi film internasional. Sejak pagi hingga larut malam, Bumi dan Franz duduk di balik meja penuh kertas, laptop, dan papan jadwal. Call sheet—lembaran yang berisi siapa saja yang harus datang, di lokasi mana, jam berapa, untuk adegan apa—mulai disusun dengan detail. Tidak ada ruang untuk kelalaian, setiap nama, jam, dan lokasi dipastikan tepat.Bumi yang dulu dikenal santai, kini tampak berubah. Senyumnya tetap ada, tapi setiap menit seakan dihitung. Teleponnya tak pernah berhenti berdering: rumah produksi kostum menanyakan ukuran aktor, vendor properti melaporkan perkembangan replika tahta, tim perizinan melaporkan persetujuan dari