All Chapters of Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia : Chapter 41 - Chapter 50

Sore merayap pelan di antara sela-sela jendela kamar Sari, memantulkan cahaya keemasan pada dinding yang dicat putih gading. Tak ada dekorasi mewah, hanya rak buku kayu sederhana, kipas angin berdiri di sudut ruangan, dan satu pot tanaman lidah mertua yang ia rawat sejak dua tahun lalu.Meja kerjanya tidak besar, tapi selalu rapi. Di atasnya tergeletak laptop tua, beberapa buku catatan, dan mug berisi teh hangat yang kini sudah setengah dingin. Jendela terbuka setengah, membiarkan udara sore menyusup masuk, membawa bau debu tipis dari jalanan yang sibuk.Sari baru saja mengirimkan dua halaman naskah ke Bumi untuk disunting. Itu bukan pertama kalinya. Sebenarnya, ia nyaris selalu melibatkan Bumi dalam hal-hal yang datang ke mejanya—entah itu rilis acara, artikel ringan, atau kadang laporan yang harus tampil sedikit lebih “bernyawa.” Ada sesuatu dari cara Bumi mengubah kalimat yang membuat Sari kagum. Suntingannya selalu ringkas, namun tak membunu

Pagi di kantor Dinas Pekerjaan Umum Bandung sudah mulai sibuk. Suara deru mesin fotokopi bersahutan dengan bunyi ketukan keyboard dan telepon yang tak henti berdering. Di tengah hiruk-pikuk itu, Radit duduk di mejanya dengan rapi, mengenakan kemeja biru muda yang tergulung di lengan bawah, siap menyambut hari yang panjang.Sebagai salah satu pegawai senior di bidang pengelolaan infrastruktur, Radit sering berada di garis depan proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan kota-kota di Jawa Barat. Pekerjaannya menuntut dia sering meninggalkan kota untuk melakukan supervisi lapangan, negosiasi dengan kontraktor, hingga mengawal pelaporan ke pemerintah pusat. Meskipun sibuk, ia selalu memastikan untuk pulang ke Bandung setiap akhir pekan, agar bisa menghabiskan waktu dengan Tari, istrinya, atau sekali waktu menemui putrinya, Aira, yang tinggal bersama mantan istrinya, Dita.Radit mengambil secangkir kopi dari meja kecil, lalu menatap lay

Kamar hotel bintang lima itu tampak mewah dalam balutan cahaya lembut lampu gantung. Tirai-tirai tebal berwarna krem terbuka sedikit, memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang berbaris di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta. Di balik kaca jendela, langit senja perlahan berganti jingga lalu ungu, menandai berakhirnya hari yang sibuk.Bumi duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam segelas air mineral, matanya tak lepas menatap ke luar jendela. Semua ini terasa seperti mimpi. Belum lama, ia masih sibuk mengurusi proyek pendampingan desa, berkeliling kampung-kampung kecil di Jawa Barat, dan kini ia berada di pusat ibu kota, di kamar hotel mewah yang disediakan oleh kementrian.Tawaran kementrian untuk mengembangkan film-film dokumenter sebagai bagian dari program mereka adalah langkah besar bagi Bumi. Proyek pendampingan yang sudah ia jalankan di lapangan menjadi pintu gerbang yang membawa namanya dikenal lebih luas. Bahkan lembaga riset

Pagi berikutnya, rapat kedua dimulai lebih formal. Ruangan dipenuhi staf kementerian, konsultan media, dan perwakilan lembaga riset. Presentasi pembukaan berjalan seperti biasa, sampai giliran Bumi diminta menyampaikan tanggapan. Ia berdiri dengan tenang, membawa satu map kecil dan selembar catatan. "Terima kasih untuk kesempatan ini. Saya merasa dihargai, dan saya senang bisa dilibatkan. Tapi saya ingin sampaikan satu hal. Kalau saya ikut proyek ini, saya ingin tetap membawa pendekatan yang saya pegang sejak awal: manusia sebagai pusat cerita. Bukan program. Bukan angka." Ruangan mulai hening. "Saya tidak keberatan dengan target produksi. Tapi saya ingin punya kendali atas tim produksi saya. Saya ingin bisa memilih lokasi dengan pendekatan empati, bukan hanya representasi geografis. Maksud saya, saya ingin bisa memilih lokasi berdasarkan kedalaman cerita dan pengalaman manusia yang n

Di sisi lain kota, senja sudah turun ketika Bumi menyeduh kopi sendiri di dapur kecil kontrakannya. Aroma robusta dari Garut pemberian Sari itu menyebar pelan, memenuhi ruangan yang sunyi. Di meja kayu sederhana, berserakan buku-buku riset budaya, alat tulis, dan beberapa catatan pendampingan desa yang belum sempat dirapikan.Ia baru saja duduk ketika laptopnya berbunyi—sebuah notifikasi Zoom meeting muncul tiba-tiba di layar.“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – Rapat Singkat (15 menit)”Bumi mengerutkan dahi. Tak ada jadwal sebelumnya. Tapi nama-nama yang tertera di ruang tunggu virtual—termasuk dua orang yang ia kenali dari pertemuan sebelumnya, Pak Waluya dan Pak Marwan—membuatnya ragu untuk mengabaikan. Dengan sedikit penasaran, ia klik join.Beberapa wajah muncul di layar. Seorang pejabat madya, seorang staf muda, dan perwakilan dari lembaga riset.“Selamat malam, Mas Bumi. Maaf