POV ARKANAMalam itu, Arkana tak bisa tidur.Suara dari telepon itu terus terngiang di kepalanya.Nada lirih, serak, dan kalimat yang seolah menjadi beban baru di dadanya:> “Jangan kasih tahu Nadira dulu… aku cuma butuh waktu.”Ia duduk di ruang kerjanya, lampu meja menyala redup.Ponselnya diletakkan di atas meja, dan tiap kali layar itu berkedip, jantungnya langsung berdebar, berharap panggilan itu muncul lagi. Tapi nihil.Tak ada kabar. Tak ada pesan. Hanya sunyi.---Keesokan paginya, Nadira datang dengan wajah cerah, membawa roti bakar dan kopi.“Mas, sarapan dulu. Kamu belum tidur lagi, ya?”Suara Nadira begitu lembut, tapi justru membuat hati Arkana makin kacau.“Cuma… nggak bisa tenang,” jawab Arkana pelan, menatap istrinya.“Banyak pikiran.”Nadira duduk di sebelahnya, menyentuh tangannya.“Kalau ini tentang Rafindra, kamu nggak perlu terus nyalahin diri sendiri. Dia pergi waktu mendaki, bukan karena kamu.”Arkana diam.Ia ingin berkata bahwa Rafindra tidak benar-benar pergi
Last Updated : 2025-10-24 Read more