Lahat ng Kabanata ng Pak Ceo, Aku Ingin Anak: Kabanata 11 - Kabanata 20

​Pagi itu, Amara terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di punggung dan lehernya. Ia tidur dalam posisi duduk, bersandar pada sofa beludru yang besar. Tubuhnya kaku dan lelah akibat kurangnya kasur yang layak. Ia segera menyadari sentuhan lembut di pergelangan tangannya. ​Darian masih tertidur pulas, wajahnya damai tanpa topeng arogansi yang biasa ia kenakan. Air mata yang sempat ia lihat tadi malam telah mengering, meninggalkan jejak samar di kulitnya yang bersih. Tangan Darian masih melingkari pergelangan tangan Amara, menjadikannya tumpuan tidur. ​Amara menarik tangannya perlahan. Sentuhan itu membuatnya kebas dan mati rasa. Ia menatap bibir Darian yang membengkak dan sedikit pecah di satu sudut, bekas gigitannya. Rasa bersalah dan rasa jijik bercampur aduk. ​Ia bangkit tanpa suara, bergerak sehati-hati mungkin menuju pintu kamar utama. Tepat saat ia membuka pintu, ia mendapati Marco berdiri di depan pintu kamar, tampak baru saja tiba. ​Wajah Marco langsung pucat. "Nona Am

​Makan siang tiba. Amara segera menutup laptopnya. Perutnya yang kembung akibat obat hormon terasa semakin tidak nyaman, dan ia benar-benar membutuhkan makanan yang menenangkan. ​"Ayo, Amara! Restoran di depan sana sudah menunggu," seru Lina penuh semangat, langsung menarik tangan Amara. ​Mereka berjalan bersisian, menaiki lift menuju lantai dasar, lalu menyeberang jalan ke restoran baru yang tengah ramai. Restoran itu bergaya fusion Asia-Barat, menyajikan menu seperti Salmon Panggang Saus Teriyaki, Nasi Kari Jepang, dan berbagai hidangan pasta Italia. ​"Aku akan pesan Carbonara!" seru Lina, matanya berbinar. "Kau mau pesan apa, Amara? Cobalah nasi kari mereka. Itu terlihat menggugah selera." ​Amara melihat menu dengan hati-hati. Ia harus menghindari makanan yang terlalu pedas atau berlemak, dan yang terpenting: tidak ada kafein. ​"Aku pesan Nasi Kari Jepang saja. Untuk minumnya, aku mau Jus Mangga murni, tanpa gula tambahan," putus Amara. ​"Jus mangga? Kau tidak mau cob

​Pagi menyambut Amara dengan hawa dingin yang menusuk. Ia terbangun pukul lima, tak ingin terlambat melaksanakan perintah baru Darian. Setelah menenangkan diri sejenak di tempat tidur dan membersihkan muka dan berkumur, Amara segera menuju dapur. Bi Ana sudah ada di sana, menyiapkan bahan-bahan. ​"Pagi, Nona," sapa Bi Ana, matanya berbinar. "Nona sudah siap di dapur sepagi ini?" ​"Pagi, Bi. Saya akan membuat sarapan, sesuai permintaan Pak Darian," jawab Amara. "Hari ini menunya harus lebih lengkap. Saya akan membuat Salmon Panggang dengan Saus Dill, Telur Orak-Arik Keju Feta dan Bayam, serta Asparagus Panggang Butter. Dan untukku, aku akan membuat Oatmeal Panggang Cranberry & Almond." ​"Wah, itu menu yang sangat bergizi, Nona! Bibi bantu siapkan butter dan dill ya," ujar Bi Ana, senang melihat keseriusan Amara. ​Amara bekerja dengan tenang. Aroma butter yang meleleh di penggorengan, wangi dill yang segar saat dibalurkan pada salmon, dan harum bayam yang layu saat bertemu keju F

Sabtu pagi, Amara menjalani weekend layaknya tahanan rumah. Pukul sepuluh pagi, Bi Ana sudah pamit untuk berbelanja. Tak lama setelahnya, bel penthouse berbunyi. ​Marco yang membukanya. Dr. Anton dan seorang perawat masuk. ​"Selamat pagi, Nona Amara," sapa Dr. Anton. "Kami datang untuk pemeriksaan hari H minus dua. Bagaimana perasaanmu?" ​"Sedikit kembung, Dokter, tapi baik-baik saja," jawab Amara, terkejut dengan kunjungan tak terduga ini. Kekuatan dan koneksi Darian memang tidak terbatas. ​"Itu normal. Kita akan memeriksa kondisi akhir rahim dan folikelmu. Mari kita ke kamarmu," ujar Dr. Anton. ​Amara memimpin mereka menaiki tangga. Di lantai atas, mereka melewati tangga spiral dan menuju koridor panjang, di mana kamar Amara berada di dekat tangga, sementara kamar utama Darian berada diujung, bersebelahan dengan ruang kerjanya. ​Di kamar Amara, perawat segera menyiapkan peralatan. Dr. A

Pukul empat sore, Amara sudah tiba kembali di penthouse. Ia tidak merasa pulih sepenuhnya. Setiap langkah terasa berat, dan rasa nyeri tumpul di perutnya mengingatkannya pada kekosongan yang baru saja dialaminya, pengambilan dua puluh satu harapan kecil. ​Marco mengantarnya hingga ke kamar dan memastikan Amara berbaring. "Nona Amara, Tuan Darian berpesan, Anda tidak boleh turun tangga malam ini. Bi Ana akan mengurus semua kebutuhan Anda di sini." ​"Baik, Pak Marco. Terima kasih," jawab Amara pelan. ​"Dan pastikan Anda meminum obat pereda nyeri tepat waktu. Besok pagi, kami akan memberikan laporan pertama," Marco berucap, nadanya profesional namun ada nada lega karena prosedur besar sudah terlewati. ​Setelah Marco pergi, Bi Ana masuk membawa sup ayam hangat. ​"Aduh, Nona. Perutmu pasti sakit sekali," Bi Ana bersimpati. "Biarkan Bibi pijat pelan-pelan kakimu, ya. Nona harus tenang." ​Amara tersenyum lemah. "Terima kasih, Bi. Aku baik-baik saja. Hanya... lelah." ​Malam itu