All Chapters of Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi: Chapter 171 - Chapter 180

Enam tahun berlalu sejak badai besar yang pernah mengguncang keluarga Carter. Waktu terasa bergerak begitu cepat, seolah langsung melompat ke masa yang jauh lebih terang. Kini, Bastian dan Sera telah berusia sebelas tahun dan duduk di kelas enam sekolah dasar. Banyak hal berubah, tetapi satu hal tetap sama: setiap hari di mansion Carter tetap penuh dinamika, tawa, kegaduhan, dan tentu saja—persaingan kecil yang seakan tidak pernah berakhir.Bastian tumbuh sebagai anak yang tenang, cerdas, dan berwibawa. Sejak kelas satu, ia selalu menempati peringkat pertama dan menjadi juara umum. Ia bukan hanya pintar; ia telaten, disiplin, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tahun ini, ia kembali dipercaya sekolah untuk mewakili kota Washington dalam lomba matematika tingkat nasional. Setiap pulang sekolah, ia akan menghabiskan waktu di ruang belajar, memecahkan soal sulit dengan ketenangan yang membuat siapa pun takjub.Celline sering memperhatikannya dari pintu, tersenyum bangga sekaligus ka

Kepulangan keluarga Carter ke Washington disambut suasana rumah yang hangat, sekaligus riuh oleh para anggota keluarga yang masih tenggelam dalam euforia keberhasilan Bastian. Meskipun sudah berlalu dua hari, Dominic masih belum berhenti memamerkan cucunya itu.Setiap ada telepon masuk, nada bicara Dominic selalu sama—penuh semangat dan tanpa malu-malu.“Ya benar, cucu saya juara nasional. Nilainya hampir sempurna,” ujarnya sambil berjalan ke ruang tamu dengan gagah. “Bukan, bukan lomba biasa. Ini tingkat nasional. Tentu saja ia mengalahkan ratusan peserta.”Melanie hanya menggeleng pelan melihat tingkah suaminya, sementara Celline duduk di sofa, tersenyum malu mendengar nama putranya terus disebut-sebut.“Daddy seperti baru menang lotre saja,” gumam Jayden sambil meneguk kopi.“Lebih besar dari lotre,” balas Dominic santai. “Ini kehormatan keluarga.”Di sudut ruangan, Richard juga tidak kalah antusias. Ia sedang mengirim foto-foto Bastian ke grup chat teman vaksinnya.Ngomong-ngomong

Enam tahun berlalu sejak masa-masa penuh kenakalan dan tawa itu. Waktu berjalan begitu cepat, hingga tanpa disadari kini Bastian, Sera, dan Nicholas telah tumbuh menjadi remaja berusia sekitar tujuh belas hingga delapan belas tahun. Hari ini adalah hari kelulusan mereka—hari yang terasa megah sekaligus sentimental bagi keluarga besar Carter dan Rudolf.Lapangan sekolah dihiasi ribuan bunga, kursi berjejer rapi, dan panggung utama berdiri megah di tengah-tengah. Para siswa berseragam hitam tampak sibuk berfoto, tertawa, atau sekadar memandangi bangunan sekolah dengan nostalgia.Celline berdiri tidak jauh dari panggung, menggenggam tangan Jayden sambil menatap si kembar dari kejauhan. “Mereka sudah sebesar itu…” ucapnya lirih.Jayden tersenyum kecil. “Ya. Dan sebentar lagi mereka meninggalkan rumah.”“Jangan diingatkan,” jawab Celline cepat, membuat Jayden tertawa kecil.Acara dimulai. Nama demi nama dipanggil naik ke panggung. Ketika nama Bastian Carter disebut, sorakan dari sisi kelua

Keputusan itu akhirnya matang setelah berbulan-bulan dibicarakan, diperdebatkan, dan dipertimbangkan dari segala sisi. Hari ini, seluruh keluarga Carter berkumpul di bandara Washington untuk melepas Bastian yang akan memulai kehidupannya sebagai mahasiswa di Inggris.Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya suasana hati mereka yang membuat semuanya terasa sendu. Selama tujuh belas tahun lebih, si kembar hampir tidak pernah terpisah jauh. Bahkan ketika mereka berbeda kelas sekalipun, jarak mereka selalu dekat. Namun pagi ini, untuk pertama kalinya, mereka akan berjalan di jalan masing-masing.Di tengah keramaian bandara, Bastian berdiri dengan koper birunya. Wajahnya tampak tenang seperti biasanya, tetapi kedua telapak tangannya tidak berhenti mengusap resleting tas punggungnya—kebiasaan kecil yang hanya Sera sadari ketika ia gugup.Jayden merangkul bahu putranya. “Ingat, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu memang ambisius, tetapi jangan lupakan waktu u

Sudah satu minggu sejak Bastian memulai kehidupan barunya di London. Kota itu terasa berbeda dari Washington—lebih dingin, lebih cepat, namun juga lebih bebas. Di sinilah ia akhirnya resmi menjadi mahasiswa di salah satu universitas terbaik di kota itu.Bastian menyewa sebuah apartemen sederhana tidak jauh dari kampus. Tempatnya kecil, hanya satu kamar dan ruang tamu mungil, tetapi cukup nyaman untuk dirinya sendiri. Ia memilih tinggal di sana bukan karena tidak mampu menyewa yang lebih bagus, melainkan karena keinginannya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel keluarga Carter.Sejak awal, ia sudah mantap dengan satu keputusan: menyembunyikan identitasnya.Saat SMA di Washington, ia sudah kenyang menghadapi orang-orang yang mendekat bukan karena ingin berteman, tetapi karena ingin mengambil keuntungan. Banyak yang ingin berada di dekatnya hanya karena ia adalah anak sulung generasi keempat keluarga Carter. Ia tidak ingin mengulang semua itu lagi di tempat baru.Yang ia inginkan sederha