All Chapters of Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi: Chapter 61 - Chapter 70

Di ruang tamu keluarga Carter, suasana tampak hangat dari luar—lampu kristal menggantung, wangi makanan tersaji dari dapur—tapi di antara Melanie dan Bella, ada bara halus yang terus menyala.Bella masih duduk manis di sofa, wajahnya tampak lelah tapi tetap elegan. Cangkir teh di tangannya sudah dingin sejak tadi. Melanie di hadapannya, sesekali menghela napas berat sambil menggeleng, tak habis pikir dengan cerita yang baru ia dengar.“Dia benar-benar berubah, Mom,” ucap Bella pelan, suaranya serak tapi terdengar mantap. “Sejak mengenal perempuan itu, Jayden tak lagi pulang, bahkan teleponku tidak dijawab. Aku sudah mencoba menemuinya, tapi dia terus menghindar.”Melanie menatap menantunya dengan prihatin. “Sungguh tidak masuk akal. Celline Anderson itu pasti tahu Jayden sudah menikah. Lalu kenapa masih berani mendekat?”Bella menunduk dalam, menahan senyum yang hampir muncul. “Aku tidak tahu, Mom. Tapi yang jelas, perempuan itu pandai mengambil simpati. Ia membuat Jayden merasa kasih

Sudah empat hari Jayden tinggal di apartemen Celline. Setiap pagi, rutinitas sederhana di tempat itu membuatnya merasa asing sekaligus tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, hanya suara tawa anak-anak dan aroma roti panggang yang memenuhi udara.Bastian sudah tampak jauh lebih baik. Meski tubuhnya masih terlihat lemah, pipinya mulai berisi, dan senyum kecilnya perlahan kembali muncul. Ia belum terbiasa memanggil Jayden “Daddy”, namun sikapnya jauh lebih terbuka dibanding sebelumnya. Sesekali ia berbicara lebih dulu, menanyakan hal-hal kecil seperti pekerjaan atau permainan favorit Jayden saat kecil.Berbeda dengan Sera, yang nyaris tidak pernah lepas dari sisi ayahnya. Setiap kali Jayden duduk, gadis kecil itu pasti sudah duduk di pangkuannya, berbicara tanpa henti tentang sekolah, teman-teman, hingga makanan favoritnya. Jayden tidak keberatan sedikit pun. Ia bahkan menikmati setiap detik yang terlewat bersama dua anak yang selama ini tidak sempat ia kenal.Pagi itu, sinar matahari

Udara pagi terasa sejuk ketika Jayden memarkir mobil di depan sekolah anak-anak. Hari ini untuk pertama kalinya ia mengantar Sera dan Bastian ke sekolah—dan anehnya, ia lebih gugup daripada mereka. Dari kursi belakang, Sera tampak tidak bisa diam, senyumnya merekah sepanjang jalan.“Daddy, nanti Daddy tunggu di sekolah saja ya? Aku mau tunjukkin ruang kelas aku!” katanya semangat sambil merapikan pita rambut merah muda yang nyaris lepas.Jayden terkekeh kecil. “Baiklah, Princess. Tapi jangan berlari di koridor, mengerti?”Sera mengangguk dengan cepat, sementara Bastian hanya diam, menatap ke luar jendela. Ia tampak lebih tenang dibanding saudara kembarnya, tapi mata itu jelas menahan rasa ingin tahu dan gugup yang sama.Begitu sampai di halaman sekolah, beberapa anak langsung menyapa Sera dan Bastian. Suasana riuh penuh tawa membuat Jayden sedikit lega. Sera berlari menghampiri teman-temannya, sementara Bastian mengikuti dengan langkah lebih santai.Namun tak lama kemudian, Jayden men

Keesokan harinya, kehidupan tampak berjalan seperti biasa. Jayden bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan sederhana sebelum Celline berangkat ke kantor. Ia bahkan membantu menyiapkan bekal si kembar—meski Sera sempat tertawa karena bentuk telur mata sapi buatannya tidak bulat sempurna.Setelah mengantar mereka ke sekolah, Jayden sempat kembali ke apartemen. Ia mencoba membaca laporan pekerjaan yang Leon kirim melalui email, tapi pikirannya tidak fokus. Entah kenapa, sejak beberapa hari tinggal di apartemen itu, ritme hidupnya berubah sepenuhnya. Ia mulai menikmati hal-hal kecil—suara tawa anak-anak, aroma sarapan, bahkan kekacauan kecil yang dulu mungkin akan ia hindari.Siang berganti sore. Jam sekolah hampir usai. Jayden memutuskan menjemput Sera dan Bastian sendiri. Ia menunggu di taman kecil di samping gedung sekolah, tempat anak-anak sering bermain sebelum pulang.Langit sore tampak cerah, dan angin berembus lembut membawa aroma bunga kamboja dari taman seberang. Jayden berdiri di

Malam itu, mobil Jayden berhenti di halaman depan mansion keluarga Carter. Lampu-lampu taman masih menyala terang, tapi suasananya dingin dan tegang. Begitu pintu utama terbuka, Melanie berdiri di ruang tamu dengan wajah menegang.“Kau masih tahu jalan pulang rupanya,” sindirnya tajam. Jayden menghela napas berat, menaruh kunci mobil di meja. “Mom, aku lelah. Kita bisa bicarakan ini besok.”“Tidak ada besok, Jayden!” seru Melanie lantang. “Berhari-hari kau menghilang tanpa kabar, meninggalkan istrimu! Apa kau sadar betapa memalukan sikapmu?”Jayden menatap ibunya dengan sorot mata jenuh. “Aku tidak melakukan hal memalukan, Mom. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”“Berpikir? Dengan siapa? Perempuan itu?” suara Melanie meninggi, penuh kemarahan yang tertahan selama ini. “Bella sudah datang setiap hari. Dia menangis di hadapan kami, merasa dikhianati. Kau sadar apa yang sudah kau lakukan?”Jayden menatap ibunya lama, tapi diam. Melanie semakin marah melihat sikap itu. “Jadi benar, k