Kelir Getih (Layar Berdarah)의 모든 챕터: 챕터 21 - 챕터 30

“…Dipaksa untuk membakar dirinya sendiri.”Suara Kirana nyaris tidak terdengar di tengah raungan sirene mobil yang membelah kegelapan Yogyakarta. Mobil itu melaju menuju kompleks elite utara, meskipun mereka sudah tahu mereka terlambat.Raka mencengkeram dashboard, rasa perih di lukanya lenyap ditelan oleh kengerian baru. Perban di dadanya basah oleh darah Drajat, namun itu hanyalah detail kecil di hadapan horor yang lebih besar.“Pembakaran diri?” Raka mengulang, suaranya serak. “Banyu memaksa mantan menteri itu—Draupadi—untuk bunuh diri?”Kirana menggelengkan kepalanya dengan tegang, mata terfokus pada jalan. “Bukan bunuh diri. Tim forensik melaporkan dia ditemukan di tengah aula rumahnya, dikelilingi arang kayu cendana, mengenakan kain sutra mahal. Ada ritual. Dia tidak menyalakan api itu sendiri, Raka. Pesan itu hanya instruksi, sebuah peringatan kepada Gandhari.”&ldqu

“Aku memilih—”Raka menghentikan kata-katanya, membiarkan keheningan yang menyesakkan merayap keluar dari celah kegelapan. Udara terasa berat, dipenuhi aroma dupa gaharu yang membakar dan bau mesiu. Mata Raka, meski hanya diterangi cahaya merah darurat dan nyala obor Sekar, menatap tepat pada Banyu, sosok tinggi yang kini tampak seperti bayangan raksasa di dinding lorong.“Kau memilih untuk menunda, bukan, Rama Permadi?” suara Banyu terdengar tenang, melodi yang mengerikan dalam kekacauan. “Gaya lamamu. Selalu berusaha mencari jalan tengah di mana tidak ada jalan tengah. Sayang sekali, dalam lakon ini, penonton sudah bosan dengan penundaan.”“Apa yang kau inginkan, Banyu?” Raka menuntut, tangannya yang diperban mengepal. “Kau sudah mendapat panggungmu. Kresna sudah jatuh. Gandhari terisolasi. Kau bisa menghancurkan semuanya dari luar. Kenapa kau datang ke sarang Kurawa ini?”“Tentu sa

Di sana, dalam kegelapan yang redup, di bawah cahaya lampu darurat, Kirana Prameswari berdiri mematung. Ia tidak melarikan diri. Ia menahan Abimanyu. Dan ia, tanpa diketahui Raka, telah dipindahkan ke daftar sasaran terakhir Banyu.Kirana, yang baru saja menerima laporan tancep kayon Banyu melalui headset-nya, menatap Raka, dengan tatapan yang dipenuhi pemahaman tragis.“Banyu tidak butuh Istri Presiden,” gumam Raka, otaknya akhirnya memahami pakem gila itu. “Dia butuh... Prameswari.”Dua dari enam wayang golek berbalik dari Raka, dan berlari menuju Kirana.“Tidak!” Raka meraung.Ia berbalik untuk lari ke arah Kirana, tetapi empat bayangan yang tersisa segera mengunci pergerakannya, belati mereka berayun mematikan, mengincar jantungnya. Raka menahan serangan pertama, tetapi ia tahu ia tidak bisa bertahan.Banyu tertawa, suara yang murni, lepas dari segala penderitaan.

Raka menjerit kesakitan, terperangkap di bawah bayangan yang menyerang, darahnya menyembur deras. Ia melihat wajah bertopeng putih itu membungkuk, bilah belati yang lain terangkat, mengarah ke jantungnya—“HENTIKAN!”Suara Kirana Prameswari membelah lorong bunker yang dipenuhi debu mesiu dan jeritan panik tentara. Ia tidak menggunakan pistolnya, karena fokusnya kini bukan lagi pada Banyu yang telah kabur, melainkan pada menyelamatkan Raka dari wayang golek yang tersisa. Kirana menjatuhkan Abimanyu di balik tumpukan karung, dan dengan gerak cepat yang tak terduga, ia menerjang Wayang Golek yang menindih Raka.“Lepaskan dia!” Kirana meraung, tangannya mencengkeram lengan si penyerang, menariknya menjauh dari tubuh Raka.Wayang Golek itu, yang memiliki kekuatan fisik yang mengerikan, berbalik dan mengayunkan belati ke arah kepala Kirana. Kirana berhasil menghindar, tetapi belati itu menyerempet pipinya, meninggalkan garis merah yang segera berdarah.Raka, yang terengah-engah dengan darah

Kirana Prameswari menginjak gas, mobil dinas yang dicuri itu melaju membelah malam di jalanan pinggiran Yogyakarta menuju timur. Keputusan menuju Solo terasa secepat kilat, didorong oleh insting bertahan hidup dan realitas baru yang jauh lebih mengerikan daripada pembunuhan berantai biasa: teknologi bio-fisik, pencurian DNA, dan hantu masa lalu Raka.“Ulangi lagi,” pinta Kirana, suaranya tegang dan kering, matanya fokus pada jalanan yang gelap. “Kau bilang… saudara kembarmu?”Raka, yang bersandar di kursi penumpang, bahunya berdenyut sakit, memeluk erat gulungan lontar yang sedikit hangus. Ia mencoba mengatur napas. Bau bensin dan asap masih melekat di pakaiannya, bercampur dengan aroma darah kering.“Ya. Itu cuma mitos keluarga, Kirana,” Raka berbisik, suaranya serak. “Ayah bilang aku lahir kembar, tapi yang satu mati. Dibuang. Tidak pernah ada makam, tidak pernah ada upacara. Dia selalu menghindari pembicaraan itu, seperti ada hal tabu yang disembunyikan.”Kirana mengurangi kecepata